Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2022

Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

Ben & Jody - Review

Gambar
Dari segala kekhawatiran dan keraguan gue karena pindah haluan genre dari drama tentang kopi ke aksi, terjawab tuntas oleh kualitas Ben & Jody yang gue suka banget! Naskahnya solid dan terjebaknya Ben dan Jody di konflik antara warga lokal perkebunan sawit dengan perusahaan sangat logis. Gue yang pernah ngerasain tinggal sebulan di perkebunan sawit di Kalimantan Barat, sangat sangat memahami dan betapa dekat dunia Ben & Jody dengan kenyataan.  Konflik antara warga lokal dengan perusahaan sawit itu ada di mana-mana di Indonesia, termasuk warga lokal yang akhirnya menyerah pada keuntungan yang ditawarkan oleh perusahaan. Gue acungin dua jempol untuk sutradara dan penulis naskah Angga Dwimas Sasongko yang berani mengangkat isu ini dengan vulgar dan apa adanya. Iya oke Indonesia memang jadi salah satu negara eksportir sawit terbesar seluruh dunia, tapi konsekuensinya pun juga sangat besar baik ke dampak negatif lingkungan serta warga lokal. Genre apa yang paling tepat dan dijamin

Antlers - Review

Gambar
Sudah lama gue tunggu-tunggu film ini setelah berkali-kali jadwal rilisnya harus diundur karena pandemi. Beruntung film produksi Searchlight ini ada perjanjian dengan OTT lain untuk harus rilis dulu di bioskop, maka Disney mau nggak mau rilis di bioskop sebelum ke Disney+, meski ditaruh di tanggal yang nggak populer seperti Januari ini.  Jadi ya beruntung juga gue tonton di bioskop, karena beneran serem dan ngagetin dong. Sebuah sensasi yang nggak bakal kena kalau nonton di rumah aja. Kalau seorang Guillermo del Toro megang film beraroma monster udah pasti jaminan mutu sih. Entah isi kepalanya isinya apaan yak. Desain monsternya bener-bener nyeremin dan bikin deg-degan walau cuma denger suaranya aja. Ditambah lagi Antlers ini adalah tipikal film yang sunyi. Minim dialog dan scoring, seakan menghidupkan atmosfer sepi di kota kecil yang jarak antar rumahnya jauh banget. Jadi ketika si makhluk Wendigo, mitos dari Indian, muncul dengan suara beratnya maka akan sukses bikin bulu kuduk merin

The Last Duel - Review

Gambar
Kasian banget sih The Last Duel jadi anak bawang nggak rilis di bioskop dan cuma rilis di Disney+. Apalagi kalau bukan karena pas Disney mengakuisisi Fox, termasuk library Fox yang belum rilis di bioskop - salah satunya adalah The Last Duel ini. Nggak pandang bulu, meski karya sutradara Ridley Scott sekalipun, Disney tetep raja tega untuk ga kasih rilis bioskop. Padahal di atas kertas The Last Duel ini punya modal yang kuat banget; penulis naskah dari duet pemenang Oscar Matt Damon dan Ben Affleck sampai deretan cast kelas A.  The Last Duel punya gaya bercerita yang sangat unik; filmnya dibagi 3 bab dengan masing-masing bab adalah sudut pandang yang berbeda dari 3 karakter utama tentang segala hal yang berujung pada kekerasan seksual. Ada Sir Jean de Carrouges (Matt Damon), Jacques Le Gris (Adam Driver), dan Marguerite de Carrouges (Jodie Comer). Menariknya, meski tiga bab / sudut pandang ini menceritakan hal yang sama, tapi ada detil yang berbeda sesuai karakter masing-masing. Sebuah

I May Destroy You - Series Review

Gambar
Gue udah denger tentang I May Destroy You sejak series karya sutradara, penulis naskah, dan aktor Michaela Cole ini ngeborong 9 nominasi di Emmy tahun 2020 - dan ngebawa pulang piala naskah terbaik. Tapi jadi makin pengen nonton sejak gue nonton Penyalin Cahaya karena gue nggak begitu puas untuk cari tahu kekerasan seksual dari sisi korban. Iya sih ada 27 Steps of May (2018) yang gue suka banget tapi sayang terlalu artsy jadi kurang masuk ke penonton populer. Serial I May Destroy You ini punya premis yang nyaris mirip sama Penyalin Cahaya; pesta-pesta di malam hari, minum sesuatu sampai pingsan dan ga ingat apa-apa, besok paginya kebangun dan ternyata sudah ada tanda kekerasan seksual. Nah nggak kaya Penyalin Cahaya yang bergerak jadi film thriller investigasi, I May Destroy You fokus menyelami emosi dan pikiran korban. Ada unsur investigasinya tapi dikiiiit banget karena mau ga mau lapor polisi kan. Tapi serial 12 episode dengan masing-masing durasi kurang lebih 30 menit ini bene

Just Mom - Review

Gambar
Film Just Mom sepertinya memang dibuat untuk menguras air mata penonton sebanyak-banyaknya dengan menempatkan Christine Hakim sebagai seorang ibu yang kharismatik dan nyaris sempurna. Cara ini memang berhasil sih, apalagi di penghujung film yang berasa kaya dihajar beruntun berkali-kali. Buat gue yang awalnya sekuat tenaga nahan buat ga nangis, lalu dada seperti digedor-gedor minta dibuka, sampai akhirnya ambyar pula segala rupa pertahanan emosi dan jiwa. Film ini memang panggung bagi Christine Hakim semata sih. Karakternya hidup banget dan aktingnya bener-bener effortless . Gampang banget buat penonton untuk menganggap bahwa karakter ibu yang ada di layar adalah ibu kita semua. Maaf buat aktor-aktris lain karena jadi tenggelam pasrah, dan selalu kalah silau ketika ibu muncul di layar. Ayushita jadi ODGJ adalah salah satu gambaran yang nggak berlebihan tentang orang dengan gangguan jiwa. Film panjang kedua dari sutradara dan penulis naskah Jeihan Angga setelah Mekah I'm Coming (20

Penyalin Cahaya - Netflix Review

Gambar
Di luar kontroversial co-writer Henricus Pria terlibat kasus kekerasan seksual di masa lalu (kini namanya sudah dicoret dari bagian film ini), sebagai entitas film sendiri Penyalin Cahaya punya pesan yang kuat dan nyaris sempurna di segala segi teknis. Color palette (bukan color grading) yang didominasi warna hijau - dari warna cahaya mesin fotokopi - sangat cantik dipandang mata. Ditambah detil desain produksi sampai ke detil dunia teknologi menambah kenyamanan untuk gampang larut ke dalam cerita. Akting setiap pemainnya benar-benar brilian! Juara sempurna sama rata nggak saling mengungguli satu dengan yang lainnya. Shenina resmi jadi aktris brilian dan patut diperhitungkan, Putri Marino you've been warned! Chicco Kurniawan, Dea Panendra, Jerome Kurnia, Giulio Parengkuan, Lutesha semuanya gue suka banget sama aktingnya. Natural dan dialog ngalir tanpa cela kaya keseharian biasa aja gitu. Aktor-aktris senior macam Lukman Sardi, Ruth Marini, dan Budi Ros juga gak serta merta mencuri

Don't Look Up - Netflix Review

Gambar
Sutradara dan penulis naskah Adam McKay emang udah jawara deh kalo bikin film komedi satir. Apalagi sejak The Big Short (2015) kayaknya dia udah biasa megang deretan pemeran kelas berat. Kalau di Don't Look Up ini rasanya memang Netflix mau pamer budget aja dengan ngerekrut sebanyak-banyaknya bintang besar Hollywood. Secara mas Leo sangat selektif milih naskah dan proyek, jadi udah jaminan mutu lah ya buat filmnya. Secara umum gue suka banget sih sama Don't Look Up, yang satirnya kelewat kocak dan absurd menyindir berbagai permasalahan di dunia. Mulai dari politik sampai kapitalisme dan terutama perubahan iklim, semuanya kena dan bikin gue ngakak. Mirisnya, apa yang gue ketawain di layar itu kejadian pula di dunia nyata. Sebegitu absurdnya komedi yang ditampilin sama Adam McKay, masih lebih absurd kejadian di dunia nyata gak sih. Masih inget sama usulan Trump buat nyuntikkin sanitizer ke badan manusia? Buat gue pribadi, pesan di film ini udah jelas banget gak sih. Arahnya mun

Till We Meet Again - Review

Gambar
Film terbaru dari sutradara dan penulis naskah berbakat Giddens Ko, yang melejit namanya sejak You Are the Apple of My Eye (2011). Till We Meet Again in meraih 11 nominasi Golden Horse , penghargaan film di Taiwan termasuk kategori Best Pictures dan Best Adapted Screenplay . Kalau udah kaya gini, fix jadi jaminan mutu gak sih. Ternyata filmnya penuh dengan aroma bawang yang kental. Di atas kertas, film ini mirip perpaduan antara dwilogi Along with the Gods dengan Akhirat: A Love Story . Hidup setelah kematian memang jadi tema utama dari film ini, sekaligus gue pribadi jadi belajar banyak soal kepercayaan yang dianut oleh agama Buddha. Mulai dari karma baik, karma jahat, sampai dengan reinkarnasi. Nah ketika ditambah elemen romansa barulah mengundang aroma bawang yang sangat kuat itu. Meski kesannya berat banget bawa-bawa kehidupan setelah kematian, tapi ternyata filmnya sangat ringan dan menghibur - bahkan kelewat kocak! Unsur komedinya kuat banget sih dan sukses bikin gue ngakak s