Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
I May Destroy You - Series Review
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
-
Gue udah denger tentang I May Destroy You sejak series karya sutradara, penulis naskah, dan aktor Michaela Cole ini ngeborong 9 nominasi di Emmy tahun 2020 - dan ngebawa pulang piala naskah terbaik. Tapi jadi makin pengen nonton sejak gue nonton Penyalin Cahaya karena gue nggak begitu puas untuk cari tahu kekerasan seksual dari sisi korban. Iya sih ada 27 Steps of May (2018) yang gue suka banget tapi sayang terlalu artsy jadi kurang masuk ke penonton populer.
Serial I May Destroy You ini punya premis yang nyaris mirip sama Penyalin Cahaya; pesta-pesta di malam hari, minum sesuatu sampai pingsan dan ga ingat apa-apa, besok paginya kebangun dan ternyata sudah ada tanda kekerasan seksual. Nah nggak kaya Penyalin Cahaya yang bergerak jadi film thriller investigasi, I May Destroy You fokus menyelami emosi dan pikiran korban. Ada unsur investigasinya tapi dikiiiit banget karena mau ga mau lapor polisi kan. Tapi serial 12 episode dengan masing-masing durasi kurang lebih 30 menit ini beneran fokus ke naik-turunnya kesehatan mental Arabella.
Ya begitulah bedanya film atau serial tentang kekerasan seksual yang ditulis oleh perempuan dan laki-laki. Kalau ditulis oleh (dua) laki-laki maka karakter utamanya akan fokus ke solusi dan bukan emosi seperti di Penyalin Cahaya. Sementara mulai dari Marlina, 27 Steps of May, sampai ke I May Destroy You yang ditulis oleh perempuan maka akan terlihat betapa femininnya film dan serial ini. Mulai dari perasaan bersalah, depresi, bahkan ke marah, semuanya tergambar dengan sangat baik dan komprehensif.
Konon Michaela Cole sendiri pernah mengalami kekerasan seksual, yang menjadikan inspirasi dia untuk menelurkan serial ini. Entah seberapa tepat kisah Arabella dengan apa yang pernah dialami oleh Michaela Cole, tapi pedih banget sih nontonnya. Situasi di Inggris yang polisinya udah canggih dan nerima laporan kekerasan seksual - bahkan sampai ada tes DNA segala - ternyata belum sebegitu berhasilnya menangkap dan menghukum pelaku. Beruntung di negara maju punya kebiasaan support group, yang sangat membantu setiap penyintas untuk bercerita dan menemukan dukungan dari teman-teman senasib dan sepenanggungan.
Dari serial ini gue juga belajar betapa kekerasan seksual punya bentuk yang beragam dan sangat bervariasi. Menariknya ini digambarkan dengan yang dialami oleh karakter-karakter di sekitar Arabella, baik straight maupun gay. Tahukah kamu kalau di tengah penetrasi trus ngelepas kondom itu termasuk kekerasan seksual? Balik lagi ke consent; perjanjian awalnya adalah menggunakan kondom!
Pilihan endingnya gue suka banget, banget! Kondisi yang relate banget dan hampir semua umat manusia pasti pernah ngalamin gak sih; berimajinasi tentang gue mesti ngapain kalau gue ketemu sama pelakunya. Ditutup pula dengan adegan yang merupakan tahap terakhir dari Kubler-Ross' Stages of Grief; acceptance. Buat gue, serial ini jelas jadi referensi yang paling tepat dan nyaris sempurna tentang berbagai bentuk kekerasan seksual sampai ke gambaran bagaimana seorang Arabella mengelola traumanya untuk kemudian dapat lanjut berjalan lagi.
review film i may destroy you review i may destroy you i may destroy you movie review i may destroy you film review resensi film i may destroy you resensi i may destroy you ulasan i may destroy you ulasan film i may destroy you sinopsis film i may destroy you sinopsis i may destroy you cerita i may destroy you jalan cerita i may destroy you
Pertama-tama gue harus ngaku bahwa gue memang fans Billie Eilish sejak pertama kali dia rilis lagu Ocean Eyes tahun 2019. Ya bukan fans garis keras gimana banget, cuma suka sama lagu-lagunya yang melodinya beda dari arus utama. Gue juga nggak tahu secara detil kehidupan pribadinya dia gimana, bahkan gue baru tahu Finneas itu kakaknya sekaligus produser musik dia pas rilis di album pertama. Setelah nonton dokumenter ini, gue jadi makin respek sama artis yang menurut gue sangat beruntung dan terberkati ini. Kita semua tahu lah ya betapa kerasnya dunia hiburan apalagi dengan kasus sebelah mbak Britney Spears yang masih aja dikendalikan sama bapaknya di segala aspek hidupnya. Nah dedek Billie ini luar biasa banget punya keluarga yang beneran 100% suportif di segala sisi. Abangnya Finneas yang jenius di musik tapi juga kagak sirikan sama adeknya yang jauh lebih tenar dari dia. Bapak ibunya yang ternyata memang dari latar belakang musik dan udah grooming Billie dari kecil juga super-bijak d
Dalam setahun kita dikasih 2 film Guy Ritchie? Setelah Operation Fortune: Ruse de Guerre yang rilis di awal tahun, sekarang ada The Covenant . Menariknya The Covenant punya tema yang cenderung segar dan terlalu serius di antara semua film yang pernah disutradarai dan ditulis naskahnya oleh Guy Ritchie. Film ini juga punya premis anti-perang dengan tema yang rasanya belum pernah diangkat. Persahabatan antara seorang serdadu AS dengan penerjemah lokal di Afghanistan. Harus gue akui, rasanya The Covenant layak jadi salah satu film terbaik di tahun ini. Selain punya tema anti-war yang sangat penting, film ini punya penampilan akting yang luar biasa sampai menyerap emosi penonton. Selain itu deretan adegan aksinya juga sangat intens! Beberapa kali gue dibuat tahan nafas dengan ketegangan yang ditampilkan di layar. Seperti film-filmnya Guy Ritchie sebelumnya, The Covenant juga terlihat jelas dibagi menjadi tiga babak. Meski secara durasi tidak terbagi rata, rasanya pilihan yang tepat untu
Wah kayaknya Cha Cha Real Smooth akan jadi salah satu film romansa - dan coming of age - favorit gue di tahun ini. Manis banget sampe gejala diabetes. Satu lagi tipikal film romansa dengan hubungan yang nggak jelas bahkan cenderung platonic. Meski jelas Andrew mungkin punya sindrom Elektra yang condong lebih suka sama wanita yang lebih tua. Tapi gue rasa film ini nggak cuma ngomongin soal cinta. Melainkan tentang hidup! Hidup di masa transisi menuju dewasa lebih tepatnya. Adulting is no joke as we know, dan pasti banyak dari kita yang baru lulus kuliah bingung mau ngapain. Masa transisi dari hidup yang penuh keteraturan dan otoritas dari institusi pendidikan ke hidup yang lebih bebas terhadap arah, visi, dan misi masing-masing. Mulai dari ganti-ganti pekerjaan, gimana cara menghadapi pelanggan dengan sopan, sampai bertanggung jawab dengan komitmen dan waktu. Nah romansa dapat porsi yang jauh lebih banyak ketimbang pekerjaan, karena gue rasa memang sisi ini yang jauh lebih relate denga
Komentar
Posting Komentar