Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
The Last Duel - Review
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
-
Kasian banget sih The Last Duel jadi anak bawang nggak rilis di bioskop dan cuma rilis di Disney+. Apalagi kalau bukan karena pas Disney mengakuisisi Fox, termasuk library Fox yang belum rilis di bioskop - salah satunya adalah The Last Duel ini. Nggak pandang bulu, meski karya sutradara Ridley Scott sekalipun, Disney tetep raja tega untuk ga kasih rilis bioskop. Padahal di atas kertas The Last Duel ini punya modal yang kuat banget; penulis naskah dari duet pemenang Oscar Matt Damon dan Ben Affleck sampai deretan cast kelas A.
The Last Duel punya gaya bercerita yang sangat unik; filmnya dibagi 3 bab dengan masing-masing bab adalah sudut pandang yang berbeda dari 3 karakter utama tentang segala hal yang berujung pada kekerasan seksual. Ada Sir Jean de Carrouges (Matt Damon), Jacques Le Gris (Adam Driver), dan Marguerite de Carrouges (Jodie Comer). Menariknya, meski tiga bab / sudut pandang ini menceritakan hal yang sama, tapi ada detil yang berbeda sesuai karakter masing-masing. Sebuah hal yang sangat lumrah ya karena ingatan dan persepsi setiap orang pasti berbeda pada kejadian yang sama.
Meski berlatar abad ke-14, tapi membawa tema yang mirisnya masih relevan di tahun 2022 ini; kekerasan seksual dan ketimpangan relasi kuasa berbasis gender. Mungkin sengaja juga dipilih latar abad pertengahan ini sebagai penegas ironi bahwa pada masa itu ada hal-hal positif yang bisa dilakukan terhadap kekerasan seksual, tapi kok malah mundur di abad ke-21 ini. Salah satunya adalah keberpihakan pada korban yang seringkali tidak punya bukti dan hanya punya cerita.
Kasus kekerasan seksual yang digambarkan di film ini memang nggak ada bukti apapun; fisik, rekaman cctv, nggak ada lah wong teknologinya belum ada. Sebuah situasi yang tidak lekang oleh waktu, dan jadi penegas bahwa meminta bukti fisik, audio, video, atau apapun soal kekerasan seksual adalah percuma! Satu-satunya bukti hanyalah cerita, baik dari korban maupun pelaku. Memang keberpihakan pada korban adalah prinsip absolut dalam setiap kasus kekerasan seksual.
Tapi sebenernya film ini sendiri sudah memberikan jawabannya; kisah dari sudut pandang Le Gris pun sudah menggambarkan kekerasan seksual meski dirinya terus-terusan menolak tuduhan dan memandang hal itu bukan pemerkosaan. Kuncinya hanya satu; consent. Marguerite sudah bilang berkali-kali bilang tidak dan menolak - bahkan di sudut pandang Le Gris sekalipun! Ini adalah bukti bahwa seringkali banyak orang tidak paham apa itu consent - apalagi mau paham definisi dan variasi jenis kekerasan seksual.
Hal lain yang sangat gue apresiasi adalah meski Matt Damon dan Ben Affleck sudah punya piala Oscar akan Best Screenplay untuk Good Will Hunting (1997), tapi mereka berdua tetap membutuhkan perempuan untuk menulis sudut pandang perempuan. Maka didatangkanlah Nicole Holofcener untuk membantu mereka mengembangkan naskah dan memberikan sudut pandang perempuan. Satu itikad baik yang sangat logis dan masuk akal, yang harus dicontoh oleh pembuat film manapun - Indonesia pada khususnya. Ya kok bisa film tentang kasus kekerasan seksual pada perempuan ditulis oleh dua orang laki-laki saja?
review film the last duel ridley scott matt damon ben affleck review the last duel ridley scott matt damon ben affleck the last duel ridley scott matt damon ben affleck movie review the last duel ridley scott matt damon ben affleck film review resensi film the last duel ridley scott matt damon ben affleck resensi the last duel ridley scott matt damon ben affleck ulasan the last duel ridley scott matt damon ben affleck ulasan film the last duel ridley scott matt damon ben affleck sinopsis film the last duel ridley scott matt damon ben affleck sinopsis the last duel ridley scott matt damon ben affleck cerita the last duel ridley scott matt damon ben affleck jalan cerita the last duel ridley scott matt damon ben affleck
Pertama-tama gue harus ngaku bahwa gue memang fans Billie Eilish sejak pertama kali dia rilis lagu Ocean Eyes tahun 2019. Ya bukan fans garis keras gimana banget, cuma suka sama lagu-lagunya yang melodinya beda dari arus utama. Gue juga nggak tahu secara detil kehidupan pribadinya dia gimana, bahkan gue baru tahu Finneas itu kakaknya sekaligus produser musik dia pas rilis di album pertama. Setelah nonton dokumenter ini, gue jadi makin respek sama artis yang menurut gue sangat beruntung dan terberkati ini. Kita semua tahu lah ya betapa kerasnya dunia hiburan apalagi dengan kasus sebelah mbak Britney Spears yang masih aja dikendalikan sama bapaknya di segala aspek hidupnya. Nah dedek Billie ini luar biasa banget punya keluarga yang beneran 100% suportif di segala sisi. Abangnya Finneas yang jenius di musik tapi juga kagak sirikan sama adeknya yang jauh lebih tenar dari dia. Bapak ibunya yang ternyata memang dari latar belakang musik dan udah grooming Billie dari kecil juga super-bijak d
Dalam setahun kita dikasih 2 film Guy Ritchie? Setelah Operation Fortune: Ruse de Guerre yang rilis di awal tahun, sekarang ada The Covenant . Menariknya The Covenant punya tema yang cenderung segar dan terlalu serius di antara semua film yang pernah disutradarai dan ditulis naskahnya oleh Guy Ritchie. Film ini juga punya premis anti-perang dengan tema yang rasanya belum pernah diangkat. Persahabatan antara seorang serdadu AS dengan penerjemah lokal di Afghanistan. Harus gue akui, rasanya The Covenant layak jadi salah satu film terbaik di tahun ini. Selain punya tema anti-war yang sangat penting, film ini punya penampilan akting yang luar biasa sampai menyerap emosi penonton. Selain itu deretan adegan aksinya juga sangat intens! Beberapa kali gue dibuat tahan nafas dengan ketegangan yang ditampilkan di layar. Seperti film-filmnya Guy Ritchie sebelumnya, The Covenant juga terlihat jelas dibagi menjadi tiga babak. Meski secara durasi tidak terbagi rata, rasanya pilihan yang tepat untu
Wah kayaknya Cha Cha Real Smooth akan jadi salah satu film romansa - dan coming of age - favorit gue di tahun ini. Manis banget sampe gejala diabetes. Satu lagi tipikal film romansa dengan hubungan yang nggak jelas bahkan cenderung platonic. Meski jelas Andrew mungkin punya sindrom Elektra yang condong lebih suka sama wanita yang lebih tua. Tapi gue rasa film ini nggak cuma ngomongin soal cinta. Melainkan tentang hidup! Hidup di masa transisi menuju dewasa lebih tepatnya. Adulting is no joke as we know, dan pasti banyak dari kita yang baru lulus kuliah bingung mau ngapain. Masa transisi dari hidup yang penuh keteraturan dan otoritas dari institusi pendidikan ke hidup yang lebih bebas terhadap arah, visi, dan misi masing-masing. Mulai dari ganti-ganti pekerjaan, gimana cara menghadapi pelanggan dengan sopan, sampai bertanggung jawab dengan komitmen dan waktu. Nah romansa dapat porsi yang jauh lebih banyak ketimbang pekerjaan, karena gue rasa memang sisi ini yang jauh lebih relate denga
Komentar
Posting Komentar