Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

Penyalin Cahaya - Netflix Review



Di luar kontroversial co-writer Henricus Pria terlibat kasus kekerasan seksual di masa lalu (kini namanya sudah dicoret dari bagian film ini), sebagai entitas film sendiri Penyalin Cahaya punya pesan yang kuat dan nyaris sempurna di segala segi teknis. Color palette (bukan color grading) yang didominasi warna hijau - dari warna cahaya mesin fotokopi - sangat cantik dipandang mata. Ditambah detil desain produksi sampai ke detil dunia teknologi menambah kenyamanan untuk gampang larut ke dalam cerita.

Akting setiap pemainnya benar-benar brilian! Juara sempurna sama rata nggak saling mengungguli satu dengan yang lainnya. Shenina resmi jadi aktris brilian dan patut diperhitungkan, Putri Marino you've been warned! Chicco Kurniawan, Dea Panendra, Jerome Kurnia, Giulio Parengkuan, Lutesha semuanya gue suka banget sama aktingnya. Natural dan dialog ngalir tanpa cela kaya keseharian biasa aja gitu. Aktor-aktris senior macam Lukman Sardi, Ruth Marini, dan Budi Ros juga gak serta merta mencuri cahaya, tapi jadi komplementer yang sangat melengkapi.


Penyalin Cahaya memang bukan film Indonesia pertama yang membahas kekerasan seksual (terhadap perempuan). Sebelumnya sudah ada Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) atau 27 Steps of May (2018) yang dua-duanya fokus pada kondisi internal si korban, mulai dari trauma sampai dilema. Tapi sepertinya Penyalin Cahaya memilih jalan untuk fokus pada investigasi yang nyerempet thriller whodunit. Menjadikan film ini lebih berat pada siapa pelakunya dan bagaimana, ketimbang perasaan dan kondisi emosional korban.

Pilihan fokus ini yang jadi pertanyaan, terutama ketika salah satu orang yang bertanggung jawab melahirkan naskah terlibat dalam kekerasan seksual. Intensi dan motivasinya jadi dipertanyakan, meski penulis utama ada di tangan Wregas. Apapun itu, gue melihatnya fokus pada investigasi siapa pelaku dan bagaimana sangat mencerminkan pandangan yang ada di masyarakat. Ini sebuah fakta sekaligus tamparan sih, fokus ke pelaku sih boleh saja itung-itung sebagai peringatan. Tapi jangan dilupakan juga korban dan penyintas yang harus menanggung beban trauma dalam jangka waktu yang panjang.


Persis seperti yang terjadi ketika rumah produksi film Rekata Studio dan Kaninga Pictures mengeluarkan pernyataan sikap untuk mengeluarkan Henricus Pria dari keterlibatan di film. Apa respon pertama netizen? Bukan fokus pada kondisi korban, tapi sibuk menginvestigasi siapa yang dikeluarkan dan apa kasusnya. Mengalahkan BIN, dalam hitungan menit langsung ketahuan nama Henricus Pria - yang seharusnya memang tidak perlu ditutupi sedari awal. Meski gue paham juga sih dilema tim PR karena yang bersangkutan megang posisi "kunci" sebagai co-writer.

Setelah gue pikir dan renungkan, fokus film ini pada investigasi ke arah pelaku sampai ke adegan klimaks itu apa bisa jadi bentuk narsisme ya? Profil pelaku di film ini memang punya kecenderungan penyimpangan psikis, dan biasanya mereka sangat senang jika ketahuan sebagai pembuktian bahwa mereka hebat. Paralel dengan pelaku eksibisionis yang akan makin terangsang ketika korban teriak ketakuan. Ya kita nggak tahu - dan nggak akan pernah tahu - Henricus Pria meninggalkan jejak-jejak apa saja dan seberapa banyak dalam naskah film. Tapi dengan ngebayangin aja kok jadi ngeri ya.

Btw jujur di paragraf pertama gue ngasih 5 bintang, setelah nulis paragraf sebelum ini gue turunin jadi 3 bintang. 


Setidaknya, Penyalin Cahaya memberikan penutup yang sangat powerful - salah satu penutup film Indonesia terbaik yang pernah gue tonton. Soal berani speak up meski tidak ada bukti dan hanya ada cerita, itulah sebabnya fokus dan keberpihakan pada penyintas harus tetap diutamakan. Nggak perlu fokus pada ceritanya benar atau tidak, karena kalau nggak ada bukti maka cuma cerita yang mereka punya. Menurut gue reaksi pertama haruslah memberikan tempat yang aman dan nyaman. Kesehatan mental penyintas jelas lebih penting ketimbang identitas pelaku, sama seperti nolong korban tabrak lari. 

Yang pertama dilakukan itu nolong korban dulu atau ngejar pelaku dulu?



















----------------------------------------------------------

review film penyalin cahaya photocopier
review penyalin cahaya photocopier
penyalin cahaya photocopier movie review
penyalin cahaya photocopier film review
resensi film penyalin cahaya photocopier
resensi penyalin cahaya photocopier
ulasan penyalin cahaya photocopier
ulasan film penyalin cahaya photocopier
sinopsis film penyalin cahaya photocopier
sinopsis penyalin cahaya photocopier
cerita penyalin cahaya photocopier
jalan cerita penyalin cahaya photocopier


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Billie Eilish The World's A Little Blurry - Review

Guy Ritchie's The Covenant - Review

Cha Cha Real Smooth - Review