Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2021

Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

Ghostbusters: Afterlife - Review

Gambar
Ghostbusters: Afterlife ini adalah sekuel langsung dari Ghostbusters (1984) dan Ghostbusters II (1989). Jadi lupakan Ghostbusters versi gender-swapped tahun 2016 karena itu termasuk proyek gagal dan nggak dilanjutin lagi. Nah menurut gue, Afterlife ini cukup sukses untuk membangkitkan kembali franchise Ghostbusters yang udah terpendam lama di library-nya Sony. Benar-benar belajar dari kesalahan versi 2016, bahwa franchise ini tujuannya untuk fans service dan bukan reboot ulang. Jadi bisa dibilang Ghostbusters: Afterlife adalah film yang maksimal di fans service seakan-akan seluruh durasi 124 menit ini hanya untuk fans aja gitu. Tapi nggak juga sih, buat yang nggak nonton dwilogi Ghostbusters tahun 80-an menurut gue akan bisa menikmati film ini dengan baik tanpa roaming. Sepanjang film penonton memang diperlakukan sebagai orang-orang yang nggak tahu sebelumnya siapa itu tim Ghostbusters, sampai harus diperkenalkan lewat iklan jadul "who's you're gonna call" utnuk

Encanto - Review

Gambar
Gue nggak siap-siap tisu pula, mana expect sih kalau ternyata Encanto punya ending yang bikin banjir air mata. Parah! Terlihat dari trailernya, Encanto ini emang film animasi yang punya tema keluarga yang sangat kuat. Secara khusus keluarga multigenerasi di Kolombia yang - sama seperti di Indonesia - punya konsep nuclear family di mana keluarga tiga generasi tinggal di dalam satu rumah yang sama. Ada nama Lin-Manuel Miranda sebagai pencipta lagu-lagu yang ada di film ini, tapi kali ini nggak sebagai penulis naskah dan sutradara. Jadi lagu-lagunya sangat khas dengan melodi yang menghentak dan lirik yang to the point tapi kena banget. Selain hiburan telinga, Encanto juga hiburan mata yang maksimal. Di sini keliatan banget sih Disney lagi pamer habis-habisan teknologi animasi terbaru mereka. Detil rambut keriting sampai dengan jahitan benang di bordiran baju bisa keliatan dengan jelas! Hal yang gue suka banget dari Encanto adalah nggak ada keluarga yang sempurna, hal yang gue rasa sanga

Tick Tick Boom - Netflix Review

Gambar
Tick Tick Boom adalah film adaptasi dari teater musikal Broadway berjudul sama, yang ditulis dan disutradarai oleh Jonathan Larsson. Kisahnya sendiri sangat unik buat jadi teater musikal dan film adaptasi; semi-biografi tentang bagaimana Jonathan Larson mencoba menulis dan menyutradarai musikal pertamanya sebelum dia berusia 30 tahun. Bintang utamanya jelas Andrew Garfield, yang menurut gue ini adalah penampilan terbaik dia. Bukan cuma ngebawain semua nyanyian lengkap dengan koreografinya, tapi bisa ngasih emotion range yang luar biasa meyakinkan. Ya setiap kali dia nyanyi sih gue lumayan syok ya karena suaranya bagus bener. Eh tapi kok Vanessa Hudgens cuma dapet porsi segitu doang ya, makin ke sini kok karir filmnya makin kecil porsinya.  Siapa lagi orang yang paling cocok untuk menyutradarai film adaptasi dari musikal Broadway kalau bukan sang maestro Lin Manuel Miranda. Tapi ya tugas dia kali ini hanya untuk sebatas menyutradarai dan mengalihwahanakan saja, bukan menulis naskah ba

Losmen Bu Broto - Review

Gambar
Gue suka banget sama Losmen Bu Broto ! Ciamik mantap di berbagai segi. Akibatnya signifikan banget ngaduk-aduk emosi gue sepanjang film. Beneran usaha banget buat nahan air mata, apalagi sampai akhir film yang langsung berasa hangat di dada. Losmen Bu Broto ini menurut gue adalah film keluarga yang kalau ditonton langsung berada ada di rumah dengan segala kehangatan, lengkap dengan hal-hal yang emosional. Pertama-tama skripnya solid banget. Nggak salah deh ngasih update dan adaptasi film panjang dari serial TVRI tahun 1980-an ini. Naskah karya Alim Sudio ini benar-benar bisa membawakan semua permasalahan setiap karakter dengan sama rata dan tidak ada menonjol. Karakternya banyak padahal tapi kita bisa kenal dekat dengan setiap karakter mulai dari Bu Broto dan Pak Broto sampai ke tiga anaknya Pur, Sri, dan Tarjo. Okelah mungkin Tarjo yang agak tenggelam dan sia-sialah talenta Baskara Mahendra. Tapi drama masing-masing Pur dan Sri jelas jadi nyawa paling menyala, dan membawa film ini ke

Venom: Let There Be Carnage - Review

Gambar
Gue sebenernya nggak terlalu cocok dan suka dengan Venom yang pertama . Tapi ya karena Carnage baru hadir di sekuel yang kedua ini - diperankan pula oleh Woody Harrelson - gue pun tertarik. Apalagi yang namanya film superhero di mana Sony sedang mempersiapkan universe baru, jadi rasanya sayang ya untuk melewatkan yang satu ini. Harus gue akui, yang kedua ini jauh lebih baik daripada yang pertama. Semua kesalahan minor dan klise yang ada di film pertama praktis nihil. Jalan cerita bergerak logis dan masuk akal jadi cukup meyakinkan untuk menikmati cerita yang ada. Elemen leluconnya juga masih sama besarnya dan gue cukup ngakak di momen Mrs. Chen. Tapi ya gitu, kok menurut gue datar aja ya. Franchise Venom ini mungkin karena masih premature, jadi belum bisa menandingi kualitas yang sudah diberikan oleh Marvel dan DC. Mungkin karena gaya bercerita yang sedikit terburu-buru supaya bisa cepat sampai ke adegan klimaks. Atau menurut gue karena banyak adegan komedi yang off dan nggak berhasil

Paranoia - Review

Gambar
Sebagai fans Riri Riza dan Mira Lesmana dan selalu suka dengan (hampir) semua karyanya, gue cukup kecewa dengan yang satu ini. Oke ini adalah (percobaan) film thriller pertama karya mereka, tapi jadi terkesan sebagai film aji mumpung harus-produktif-di-saat-pandemi dengan budget rendah. Ceritanya memang kompleks tapi kok nanggung, eksekusi thriller yang sama sekali nggak menegangkan, satu-satunya yang menyelamatkan film ini hanyalah akting Nirina Zubir. Nirina Zubir jelas bersinar terang dengan naskah seperti ini, jauh di atas Lukman Sardi yang hanya menjadi Lukman Sardi tapi agak over-the-top dan Nicsap yang hanya menjadi Nicsap. Sementara yang paling ganggu sih menurut gue Caitlin North-Lewis ya. Keliatan banget aksennya udah usaha dilatih senormal dan se-Indonesia mungkin, tapi masih ada beberapa kata yang kepeleset. Jadi setiap kali dia ngomong, gue malah udah siap-siap takut dia kepleset lidah. Udah gitu jualan belahan banget sih buset entah apa fungsinya, ya masa cuma jadi peman

Eternals - Review

Gambar
Setelah drama tarik ulur sensor-sensoran minggu lalu, akhirnya Disney ngalah juga. Nggak cuma satu tapi total tiga adegan bibir ketemu bibir yang dipotong demi memuaskan hasrat LSF. Kocak sih ini kaya mau main aman banget tapi ya udah lah yang penting kita penonton udah bahagia bisa nonton Eternals di layar lebar. Yes banyak adegan yang disyut dengan kamera IMAX meski nggak 100% jadi asyik banget sih ditonton di IMAX. Untuk filmnya sendiri, kok gue ngerasa Chloe Zhao kena big budget syndrome ya. Biasa megang film no to low budget , sekalinya dikasih budget fantastis kok jadi gitu. Sebenernya menurut gue permasalahan utama ada di storytelling , di mana Eternals ini nyeritain SEMBILAN karakter utama pahlawan super yang semuanya baru buat penonton (setidaknya yang nggak baca komiknya).  Gue paham sih idealismenya untuk menceritakan sembilan-sembilannya sama rata tanpa salah satu yang menonjol - dan ini berhasil. Tapi sayangnya jadi nggak efektif karena dicampur aduk dengan misi dan adega

Last Night in Soho - Review

Gambar
Sebagai fans garis keras terhadap sutradara dan penulis naskah Edgar Wright, gue selalu suka setiap karyanya mulai dari Shaun of the Dead (2004) sampai yang terakhir Baby Driver (2017). Menurut gue, Edgar Wright adalah salah satu sutradara yang selalu ciamik dalam membuat komedi visual dan mencampurnya dengan alunan lagu-lagu yang stylish . Karya terbarunya di Last Night in Soho menurut gue jadi pencapaian terbaik dia, sekaligus nunjukkin evolusi yang sempurna dari filmmaker berbakat! Jelas ini adalah karya horor pertama dari Edgar Wright, ya Shaun of the Dead isinya zombie sih tapi kan lebih ke komedi. Udahlah horor meski baru berasanya di paruh kedua film, tapi seremnya beneran ngagetin karena sebegitu nyatanya. Bisa dibilang film ini nggak ngejual sebagai genre horor sih, lebih ke thriller atau crime. Tapi malah ini yang jadi pengalaman menonton yang asyik karena jadi ga bisa ngeduga apa yang akan terjadi selanjutnya. Cerita yang ditawarkan mungkin bukan hal yang baru, tapi cara