Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

Last Night in Soho - Review


Sebagai fans garis keras terhadap sutradara dan penulis naskah Edgar Wright, gue selalu suka setiap karyanya mulai dari Shaun of the Dead (2004) sampai yang terakhir Baby Driver (2017). Menurut gue, Edgar Wright adalah salah satu sutradara yang selalu ciamik dalam membuat komedi visual dan mencampurnya dengan alunan lagu-lagu yang stylish. Karya terbarunya di Last Night in Soho menurut gue jadi pencapaian terbaik dia, sekaligus nunjukkin evolusi yang sempurna dari filmmaker berbakat!

Jelas ini adalah karya horor pertama dari Edgar Wright, ya Shaun of the Dead isinya zombie sih tapi kan lebih ke komedi. Udahlah horor meski baru berasanya di paruh kedua film, tapi seremnya beneran ngagetin karena sebegitu nyatanya. Bisa dibilang film ini nggak ngejual sebagai genre horor sih, lebih ke thriller atau crime. Tapi malah ini yang jadi pengalaman menonton yang asyik karena jadi ga bisa ngeduga apa yang akan terjadi selanjutnya.


Cerita yang ditawarkan mungkin bukan hal yang baru, tapi cara eksekusi di tutur ceritanya yang segar dan cantiknya bukan main. Pakem formula banget di awal film penonton dikasih planting soal isu kesehatan mental buat mengalihkan tebakan kita, ternyata ke mana. Tapi ya meski mulai bisa ketebak, masih tetap seru dan bikin penasaran ngikutin filmnya.

Thomasin McKenzie ya Tuhan cantiknya bukan main. Diduetin bareng Anya Tayloy-Joy juga masing-masing nggak ada yang menonjol, sama-sama kharismatik dengan konteks karakter masing-masing. Ciamik banget sih mereka berdua ini. Seneng juga gue ngeliat Prince Philip Matt Smith yang sudah saatnya melebarkan sayap ke film layar lebar ya.


Ini adalah film pertamanya Edgar Wright yang menampilkan perempuan sebagai karakter utamanya, dan sangat pas dengan tema yang dibawakannya. Tirto dan Good News from Indonesia menuliskan bahwa representasi hantu perempuan di film-film Indonesia adalah simbol produk dari patriarki akut. Simbol di mana perempuan harus jadi hantu dulu agar bisa melawan kekerasan dan ketidakadilan terhadap dirinya. 

Tapi nggak dengan perempuan dalam Last Night in Soho, yang bahkan memutarbalikkan fenomena itu. Mungkin ini ingin meneriakkan pesan feminisme yang kuat bahwa sudah sejatinya perempuan mampu membela diri sendiri dari budaya patriarki yang sudah tertanam lama di budaya kita.



















----------------------------------------------------------

review film last night in soho
review last night in soho
last night in soho movie review
last night in soho film review
resensi film last night in soho
resensi last night in soho
ulasan last night in soho
ulasan film last night in soho
sinopsis film last night in soho
sinopsis last night in soho
cerita last night in soho
jalan cerita last night in soho


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Billie Eilish The World's A Little Blurry - Review

Guy Ritchie's The Covenant - Review

Cha Cha Real Smooth - Review