Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2021

Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

Mimi - Review

Gambar
Setelah The White Tiger dan Sir di awal tahun, akhirnya ada lagi film India di Netflix yang bikin hangat di dada. Ciamik super karena setengah awal film kita dibikin ketawa-ketawa dengan humor recehnya. Setelah puas ngakak, baru deh setengah akhir dibikin sesak di dada sambil berlinang air mata. Kisah tentang surrogate mother di India ini memang banyak kejadian dengan "customer" orang-orang kaya dari negara barat. Ya paham sih karena lagi-lagi permasalahan ekonomi sampai harus "menyewakan" rahimnya untuk orang lain. Tapi fenomena ini cukup kompleks yang nggak bisa dibahas dari satu sisi saja. Film Mimi mengeksplorasi isu tersebut dengan vulgar dan apa adanya. Sepertinya semua skenario terburuk coba dieksplorasi dan kita diperlihatkan bagaimana konsekuensi logis yang ada. Dramatis memang, tapi sangat logis dan ini yang bikin film Mimi realistis dan sangat mungkin terjadi di dunia nyata. Dengan bahasan tema yang cenderung berat, beruntung banyak komedi dan selipan l

Blood Red Sky - Review

Gambar
Udah lama banget gue nggak nonton film vampir. Terakhir apa ya sampe lupa, antara Byzantium atau Only Lovers Let Alive. Tapi favorit gue masih Let the Right One In dan 30 Days of Night . Sekarang kita liat gimana Blood Red Sky buatan Jerman ini yang tumben dan berani bikin genre ini. Trailernya bener-bener bikin penasaran sih, apalagi premisnya unik ngambil latar di pesawat yang lagi dibajak. Secara keseluruhan sebenernya seru, menegangkan, dan menghibur. Tapi ada satu hal yang bikin gue gedeg banget; satu karakter yang nyebelin annoying abis apalagi suaranya yang kaya gitu hiiiihhh. Ngerti sih dia tokoh kunci di film ini tapi bisa kan dibikin lebih cool atau adorable gitu dan nggak annoying plisss hih sebel banget. Gue suka sama penggambaran vampire-nya yang masih ngikutin mitos yang ada dan nggak sok-sokan di-update sana-sini. Masih konvensional takut matahari, ultraviolet, digigit langsung nyebar, dan lainnya. Apalagi origin story gimana si ibu bisa "tertular" yang menu

Mekah, I'm Coming - Review

Gambar
Kalo nggak karena review positif dari beberapa orang yang gue percaya, kayaknya gue nggak bakal nonton film ini. Ternyata bagus dan kocak! Emang nggak boleh judge film dari trailer doang ya, dan biasanya gue agak males kalau film lokal yang komedinya receh jayus kaya di trailernya. Tapi ternyata nonton filmnya malah bikin gue ngakak. Filmnya sendiri sangat komikal dan receh yang kocak. Sutradara Jeihan Angga banyak bermain grafis di sini untuk memberikan komedi visual semaksimal mungkin. Hasilnya menurut gue nggak terlalu norak tapi tetap kena dan menggelitik. Meski beberapa lelucon terlalu over-the-top sampe gue bingung mesti ketawa atau mengernyitkan dahi, tapi secara keseluruhan bisa dimaafkan lah.  Topik yang diangkat sangat kena dengan kebanyakan masyarakat Indonesia, apalagi kasus penipuan First Travel yang sangat heboh itu. Menurut gue ini topik yang sangat relevan sampai kapanpun dimanapun di Indonesia karena emang banyak banget kasus penipuan travel haji seperti ini. Jadi bag

Saint Maud - Review

Gambar
Jarang-jarang bisa nonton konten A24 di Netflix, dan berbekal deretan ulasan positif di linimasa gue jadi tambah tertarik untuk nonton film "religi" ini. Saint Maud bisa dibilang jatuh di genre drama thriller yang sangat character driven dalam eksplorasi vulgarnya di ranah iman dan kepercayaan.  Tidak ada hal-hal mengerikan atau mengagetkan, Saint Maud benar-benar menceritakan naik turunnya seorang perawat yang baru memiliki iman setelah mengalami satu kejadian traumatis, dan bagaimana kepercayaan itu semakin terpolarisasi ke ranah ekstrim karena faktor kesendirian. Menonton Saint Maud memang harus memiliki kesabaran berlebih berkat pace yang lamban dan atmosfer sunyi. Konflik yang ditonjolkan pun diperkenalkan secara perlahan yang harus membuat penonton mencari dan memahami sendiri lewat berbagai petunjuk yang ditampilkan di layar.  Buat gue pribadi ini adalah kesempatan emas untuk bisa ikut berpartisipasi menyelami emosi dan pikiran dari perawat Maud yang mengalami hal ya

Run - Review

Gambar
Run adalah salah satu film yang gue tunggu-tunggu, dan ternyata bisa gue tonton di HBO GO. Premisnya sangat-sangat menarik tentang seorang ibu yang merawat anaknya yang sakit dan lumpuh tapi ada keanehan dengan obat-obatan yang diberikan oleh ibunya. Dari awal film gue udah bisa menebak twist-nya tapi tetap bisa gue nikmati setiap keseruan dan ketegangan yang ada. Ngeri banget ngeliat Sarah Paulson akting jadi seorang ibu yang "begitu". Ini kaya jadi playground dia yang paling ekstrim setelah karakter-karakter miripnya di American Horror Story atau Ratched. Range emosinya luar biasa dan bahkan hanya dengan tatapan mata dan senyuman tapi tetep berasa ngeri.  Yang bikin gue takjub adalah aktris Kiera Allen yang berperan sebagai anaknya ternyata memang penderita disabilitas dan pengguna kursi roda sejak kecil. Konon sangat jarang Hollywood beneran kasih cast ke orang-orang disabilitas, jadi yang satu ini layak diberikan hormat. Selain itu perlu diketahui bahwa sindrom yang dider

Fear Street Part 3: 1666 - Review

Gambar
Ternyata part ketiga ini jauh lebih cadas ketimbang dua prekuel yang lain. Penulisan naskahnya lumayan cerdas karena twist yang ada ternyata bikin kita mau nonton ulang trilogi thriller ini. Cakep sih karena sekuel ketiga ini nggak hanya berlaku sebagai prekuel tapi juga sebagai sekuel untuk menutup kutukan Sarah Fier. Kisah Sarah Fier di tahun 1666 benar-benar mindblowing  yang nggak cuma berisi rentetan plot twist tapi juga kenyataan sifat dasar manusia yang mudah terhasut dan terpengaruhi. Meski bukan kisah baru, tapi kisah orang-orang yang terpengaruh hoax atau fake news ini rasanya tidak akank pernah basi. Malah semakin relevan di situasi pandemi seperti sekarang ini. Yang paling ironi adalah efek negatifnya bertahan hingga 3 dekade kemudian. Bagi para fans slasher/gore mungkin akan terpuaskan di sekuel ketiga ini. Nggak kaleng-kalengan kaya A Classic Horror Story (2021) tapi juga ngasih darah yang lebih dari dua sekuel sebelumnya. Kisah misterinya juga seru dan bikin penasara

A Classic Horror Story - Netflix Review

Gambar
Hype film ini udah dimulai sejak teaser trailernya, setidaknya bagi para fans Hereditary/Midsommar ya. Setelah gue tonton, bener sih ini Italian Midsommar banget. Dari banyak ulasan yang bilang kalau film ini banyak banget berisi referensi film-film horor thriller lainnya, menurut gue justru malah ini disengaja dan memang bertujuan untuk itu. Plot twist-nya sendiri yang bilang kalau ini adalah carbon copy dari film-film horor dan thriller kebanyakan. Jujur gue nontonnya sempet ketiduran sih karena saking lambannya. Ironi banget sih mengingat ada unsur gore atau slasher yang berdarah-darah di film ini. Tapi semua antisipasi gue akan sadis-sadisan ini nggak terbayar dengan baik karena nggak grafis sama sekali doooong. Sama sekali nggak dikasih liat itu mata dicongkel atau kuping diiris. Kaya males banget gitu bikin efek praktikal atau bahkan efek visual. Satu-satunya yang gue puji hanyalah plot twist yang ciamik dan lumayan bikin mangap. Sakit jiwa banget sih emang plotnya meski bukan ha

How I Became a Superhero - Netflix Review

Gambar
Buat gue plotnya sangat menarik! Kaya campuran antara Watchmen dengan Project Power. Kisahnya lebih ke masyarakat Perancis yang sudah terbiasa hidup dengan pahlawan super, bahkan ada spesialis psikolog khusus untuk manusia berkekuatan super. Tapi masalah muncul ketika ada satu orang yang bisa ekstrak buah manggis darah pahlawan super dan dijadikan obat hirup. Orang biasa kalau menghirup obat itu bisa punya kekuatan super yang lama. Seru ya! Ceritanya diambil dari sudut pandang seorang detektif beserta partner barunya yang menginvestigasi pelaku dan pengedar obat tersebut. Jadi jalan cerita metode investigasinya lumayan seru untuk diikuti sampai semua tabir misteri terungkap. Untuk kostum pahlawan supernya emang agak gimana gitu ya tapi ya udah lah gapapa toh juga ini French take untuk genre superheroes. Yang gue suka dari film ini adalah gimana mereka bisa memanusiakan manusia super. Nah loh gimana tuh ya. Ya pada dasarnya manusia super hanyalah manusia yang punya kekuatan super. Kek

Fear Street Part 2: 1978 - Review

Gambar
Gue malah lebih suka Part 2 di tahun 1978 ini ketimbang Part 1 di tahun 1994. Mungkin karena bagian kedua ini fokus pada satu lokasi tempat kemping musim panas dengan anak-anak hingga remaja nyebelin yang jadi korbannya. Nah bagian kedua ini merupakan homage untuk film-film pembunuhan tahun 70-an dan mukanya Sadie Sink dari Stranger Things ini memang bawaan jadul ya jadi pas banget aja gitu untuk latar tahun segitu. Kalau di Part 1: 1994 unsur gory-nya baru nongol di akhir, maka di Part 2: 1978 sudah mulai berdarah-darah dari tengah. Iya awalnya masih sibuk bangun cerita dan relasi antar karakter, termasuk mitos si penyihir Sarah Fier. Yang gue suka adalah di Part 2 ini mitologi kisah Sarah Fier dibuka lebih lebar lagi jadi kita bisa tahu - dan melihat - lebih banyak tentang kutukan sihirnya yang tidak mengenal waktu. Untuk lagu-lagunya masih tetap catchy meski gue udah mulai roaming karena nggak terlalu familiar dengan lagu-lagu tahun 70-an, alias kurang tua. Cara berceritanya sendi

Fear Street Part 1: 1994 - Review

Gambar
Kalau Netflix ngeluarin franchise film trilogi, ga perlu nunggu setahun sekali rilis ya. Rilisnya langsung seminggu sekali woy! Setres! Tapi trilogi Fear Street ini memang salah satu yang gue tunggu-tunggu sih. Konsepnya menarik banget; satu film bercerita di satu periode waktu. Part 1 berlatar tahun 1994, part 2 berlatar tahun 1978, dan part 3 berlatar tahun 1666. Tiga-tiganya berkisah tentang hal yang sama; kutukan seorang penyihir jahat yang membuat orang jadi pembunuh berdarah dingin. Mantaaaaap! Part 1: 1994 ini yang menurut gue jadi pembuka yang ciamik. Kalau atmosfer tahun 90-an nggak usah didebat lagi ya memang Netflix ini juaranya berkat serial Stranger Things. Nggak tanggung-tanggung, beberapa cast-nya pun diboyong ke sini. Kalau di 1994 ini ada Maya Hawke meski jatuhnya cameo doang. Lagu-lagunya itu loh yang sukses ngebawa atmosfer tahun 90-an, nggak sok indie tapi langsung to the point; pop! Asyik banget dan sukses ngebawa world building jadi jalan cerita lebih meyakinkan