Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2022

Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

Sobekan Tiket Terbaik di 2022

Gambar
Tahun ke-16 gue mengumpulkan film-film terbaik yang gue tonton selama tahun kalender 2022. Tahun ini gue banyak nonton film yang bagus, unik, dan sangat menarik. Mulai dari gue tonton di bioskop sampai di platform streaming, untungnya setiap tontonan terdokumentasi dengan baik. Cukup sulit nyusun daftar sepuluh film terbaik yang gue tonton di tahun ini, dan sangat terpaksa gue mengesampingkan banyak film bagus ke luar dari daftar ini. Ada Mencuri Raden Saleh yang pengen banget gue masukkin tapi susah. Ada pula A Hero dari sutradara dan penulis naskah Asghar Farhadi yang sayang banget harus gue diskualifikasi karena terindikasi ide ceritanya diambil secara ilegal dari pihak lain. Akhirnya terkumpulah 10 film terbaik menurut gue yang gue tonton di tahun kalender 2022. Jadi ada beberapa film yang sebenarnya rilis tahun lalu, tapi gue baru tonton di tahun 2022. Daftar ini masih saja dipenuhi dengan film tentang perempuan atau dengan karakter utama perempuan. Di tahun 2022 juga rasanya f

Avatar: The Way of Water - Review

Gambar
Setelah 13 tahun, akhirnya James Cameron kembali ngajak kita semua buat balik ke Pandora. Seperti Frozen 2 (2019) yang sekuelnya memperluas semestanya dengan ngajak ke ke tempat baru, Avatar: The Way of Water juga ngajak kita ke desa pinggir laut. Jadi achievement unlock untuk Jack Sully yang nggak cuma memperlajari cara hidup dan budaya suku Na'vi dan juga dari reef people di desa Metkayina. Seperti biasa, siaplah terkagum-kagum oleh visualnya. Merinding banget! Gue nonton di IMAX 3D dan sangat worth it ! Kayaknya wajib nonton 3D deh kalau nggak ya bakal jadi biasa aja. Ceritanya juga oke banget kok meski formula sekuel yang mirip sama film pertamanya, tapi banyak hal baru dengan kisah yang lebih luas. Tiga setengah jam alias 192 menit sama sekali nggak berasa, karena kaya lagi open trip aja ke desa Metkayina yang lautnya lebih bagus dari Raja Ampat. Sebagai pecinta laut dan segala isinya, gue suka banget sih sama cerita dan pesan makna yang dibawa. Ada plot pemburu makhlut lau

Like & Share - Review

Gambar
Akhirnya tiba juga saatnya nonton film ini, yang rame banget diomongin bukan karena isu yang dibawa filmnya tapi karena salah satu karakter utamanya tersandung isu pelakor. Sebagaimana pun gue nggak setuju sama tingkah laku Arawinda Kirana, tapi menurut gue nggak adil sih kalau nge-cancel filmnya secara keseluruhan. Buat gue, film adalah produk kolektif yang melibatkan banyak orang, bukan cuma satu orang saja. Apalagi karakter utama film ini lebih ke Aurora Ribero ketimbang Arawinda Kirana. Film ketiga yang ditulis dan disutradarai Gina S. Noer ini semakin membuktikan bahwa dirinya adalah filmmaker berbakat Indonesia yang harus dilindungi semaksimal mungkin! Setelah Dua Garis Biru (2019) yang mengeksplorasi isu hamil di luar nikah di masa SMA, kali ini lewat Like & Share isunya lebih frontal dan vulgar. Isu kekerasan seksual pada perempuan baik luar jaringan maupun dalam jaringan, iya termasuk berbagai link bokep di twitter! Pada film yang punya rating 17+ ini, memang banyak adeg

Triangle of Sadness - Review

Gambar
Mungkin ini adalah salah satu film terbaik buat gue di tahun ini. Gue ngakak total nontonnya! Gokil! Salah satu pengalaman menonton terbaik, meski gue nonton cuma di laptop, dengan koneksi internet rumah sakit yang cupu, alhasil gambar jadi nggak tajam. Film ini jadi perjumpaan pertama gue dengan sutradara dan penulis naskah Ruben Ostlund, yang ternyata udah dua kali menang Palme d'Or di Cannes ya. Yang pertama lewat The Square (2017) dan jadi penasaran mau nonton.  Tapi siapa yang sangka sih Triangle of Sadness jadi film yang ngasih jari tengah buat kapitalisme dan komersialisme. Nonton ini mengingatkan gue banyak hal ke The Menu (2022), meski The Menu fokus ke industri kuliner. Nah Triangle of Sadness rasanya lebih luas lagi, dan mengeksplorasi banyak hal mulai dari jurang antar kelas sosial sampai cantik dan tampan yang jadi nilai tukar. Kayaknya itu ya arti dari pemilihan judul Triangle of Sadness, sebuah istilah dunia fashion di area antara alis dan hidung bagian atas. Sebuah

Cha Cha Real Smooth - Review

Gambar
Wah kayaknya Cha Cha Real Smooth akan jadi salah satu film romansa - dan coming of age - favorit gue di tahun ini. Manis banget sampe gejala diabetes. Satu lagi tipikal film romansa dengan hubungan yang nggak jelas bahkan cenderung platonic. Meski jelas Andrew mungkin punya sindrom Elektra yang condong lebih suka sama wanita yang lebih tua. Tapi gue rasa film ini nggak cuma ngomongin soal cinta. Melainkan tentang hidup! Hidup di masa transisi menuju dewasa lebih tepatnya. Adulting is no joke as we know, dan pasti banyak dari kita yang baru lulus kuliah bingung mau ngapain. Masa transisi dari hidup yang penuh keteraturan dan otoritas dari institusi pendidikan ke hidup yang lebih bebas terhadap arah, visi, dan misi masing-masing. Mulai dari ganti-ganti pekerjaan, gimana cara menghadapi pelanggan dengan sopan, sampai bertanggung jawab dengan komitmen dan waktu. Nah romansa dapat porsi yang jauh lebih banyak ketimbang pekerjaan, karena gue rasa memang sisi ini yang jauh lebih relate denga

Keramat 2: Caruban Larang - Review

Gambar
Keramat 2: Caruban Larang bisa dibilang punya beban yang luar biasa besar, sejak Keramat (2009) jadi film cult horor Indonesia yang sukses di lini found footage atau mockumentary. Membangkitkan kembali horor mockumentary terutama di tahun 2022 ini terbilang berat, karena sub-genre yang sudah terlalu lelah diperas sampai habis. Beruntungnya, dan hebatnya, Keramat 2: Caruban Larang bisa menjawab semua ekspektasi itu dengan sangat baik dan ciamik. Harus gue akuin, gue cukup masuk dan tenggelam sama cerita dan mitologi Caruban Larang dan The Lost Dance yang ditawarkan oleh film ini. Memang ya, mitos penari Jawa itu masih aja nyeremin dan cocok banget jadi konten horor. Meski sama-sama penari Jawa, tapi Keramat 2 berhasil memisahkan diri dan sama sekali nggak mirip dengan KKN di Desa Penari. Segi found footage-nya sendiri gue cukup suka. Meski memang agak terlalu rapi di blocking dan penempatannya, tapi gue nggak terlalu memerhatikan karena sudah terlanjur dibuat ngeri dan seram. Kudos unt