Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

Triangle of Sadness - Review


Mungkin ini adalah salah satu film terbaik buat gue di tahun ini. Gue ngakak total nontonnya! Gokil! Salah satu pengalaman menonton terbaik, meski gue nonton cuma di laptop, dengan koneksi internet rumah sakit yang cupu, alhasil gambar jadi nggak tajam.

Film ini jadi perjumpaan pertama gue dengan sutradara dan penulis naskah Ruben Ostlund, yang ternyata udah dua kali menang Palme d'Or di Cannes ya. Yang pertama lewat The Square (2017) dan jadi penasaran mau nonton. 


Tapi siapa yang sangka sih Triangle of Sadness jadi film yang ngasih jari tengah buat kapitalisme dan komersialisme. Nonton ini mengingatkan gue banyak hal ke The Menu (2022), meski The Menu fokus ke industri kuliner. Nah Triangle of Sadness rasanya lebih luas lagi, dan mengeksplorasi banyak hal mulai dari jurang antar kelas sosial sampai cantik dan tampan yang jadi nilai tukar.

Kayaknya itu ya arti dari pemilihan judul Triangle of Sadness, sebuah istilah dunia fashion di area antara alis dan hidung bagian atas. Sebuah area yang menurut gue sih nggak ketara dan nggak efek banget ke kehidupan normal. Sebuah area yang diada-adain atas nama seni dan komersil. Hal yang nggak penting dan absurd, se-absurd orang super kaya mesen helikopter buat bawain Nutella. 


Film yang dibagi jadi tiga bagian juga menurut gue cerdas banget sih. Bagian pertama seakan ngasih pondasi bahwa film ini tentang uang dan pengaruhnya pada peran manusia dalam masyarakat. Bagian dua adalah gambaran kapitalis di mana yang punya uang bebas bisa ngapain aja, sedangkan yang nggak punya uang biasanya nggak punya banyak pilihan - selain nurut dan nggak bisa bilang "tidak".

Bagian ketiga memutarbalikkan itu semua, bahwa pada akhirnya uang, kuasa, dan penampilan (dan triangle of sadness sekeren apapun) nggak bisa jadi nilai tukar di hadapan alam dan kehidupan pragmatis. Bagian ketiga ini yang gue terhibur banget sih. Ngakak puas dan kayaknya langsung menempatkan gue pada satu kelompok; yang membenci mereka yang punya uang dan kuasa dan seenak udelnya! Coba, pada ngeh nggak si Abigail di bagian kedua? Gue sih nggak, dan menjustifikasi bahwa biasanya orang-orang seperti dia cenderung nggak keliatan.







----------------------------------------------------------

review film triangle of sadness
review triangle of sadness
triangle of sadness movie review
triangle of sadness film review
resensi film triangle of sadness
resensi triangle of sadness
ulasan triangle of sadness
ulasan film triangle of sadness
sinopsis film triangle of sadness
sinopsis triangle of sadness
cerita triangle of sadness
jalan cerita triangle of sadness


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Billie Eilish The World's A Little Blurry - Review

Guy Ritchie's The Covenant - Review

Cha Cha Real Smooth - Review