Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2022

Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

The Black Phone - Review

Gambar
Di atas kertas, The Black Phone ini punya banyak potensi. Mulai dari nama rumah produksi Blumhouse Production yang sudah piawai memproduksi deretan film horor sampai dengan aktor Ethan Hawke. Film yang diadaptasi dari cerita pendek karya Joe Hill berjudul sama ini dipegang oleh sutradara dan penulis naskah Scott Derickson yang sudah menggawangi  Sinister  (2012) dan  Doctor Strange  (2016). The Black Phone memang menjual dirinya sebagai film horor, tapi menurut gue elemen horornya sangat kecil dan minimal dibandingkan film-film horor lainnya. Memang setiap jump scare -nya efektif bikin gue kaget dan melonjak dari kursi, tapi praktis elemennya berulang dan terbatas. Malah menurut gue, film ini lebih cocok dijual sebagai film crime dengan elemen horor dan fantasi. Anggap aja kaya Room (2015) tapi dengan elemen horor dan fantasi.  Bisa jadi karena ekspektasi gue yang sudah terlampau tinggi setelah baca beberapa ulasan yang bertebaran di lini masa. Apa mungkin karena penyakit adaptasi c

Everything Everywhere All at Once - Review

Gambar
Wow wow wow, the real multiverse of madness ! Sejak awal tahun, versi bajakan film ini udah beredar luas di internet sih. Tapi setelah gue tonton di bioskop, udah gila apa ya orang-orang berani-beraninya nonton ini di smartphone atau laptop atau tv??? Visualnya luar biasa banget dan jauuuuuh lebih bagus dan meyakinkan ketimbang film-film superhero Marvel dan DC. Apalagi setelah lo tahu kalau tim VFX-nya cuma 5 orang dan ngerjainnya di rumah selama pandemi. Karena fokus utama film ini emang bukan ke keajaiban CGI atau efek visual, tapi lebih ke kisah antara orang tua dengan anak yang sangat relate dengan kita semua. Pertama-tama harus gue akui, butuh hati dan pikiran yang agak terbuka untuk nonton film ini. Cara berceritanya sangat unorthodox , mulai dari ide ceritanya sendiri sampai ke eksekusi dan visualisasinya. Visual dan eksekusi adegannya penuh dengan imajinasi yang liar, yang bikin gue mikir ini duo Daniel Scheinert dan Daniel Kwan mabok jamur apaaaaaan coba. Kok ya bisa-bisanya

Vortex - Europe on Screen Review

Gambar
Gue udah aware dengan sepak terjangnya sutradara dan penulis naskah Gaspar Noe, tapi belum ada satu pun filmnya yang gue tonton karena keterbatasan akses legal. Begitu film terbarunya, Vortex (2021), hadir di festival film Europe on Screen langsunglah nggak pikir panjang lagi. Kosongin jadwal dan niatin ke Jakarta demi nonton film ini secara legal dan di layar lebar! Plus udah siapin mental juga karena kayaknya Vortex ini punya aura yang mirip dengan Amour -nya Michael Haneke.  Sepanjang film minim dialog dan sunyi, bener-bener ngikutin keseharian pasangan lansia ini mulai dari bangun tidur, ngopi, beberes rumah, kerja, sampai tidur lagi. Beberapa drama yang dihadirkan pun sangat membumi, dan nggak ada kejadian overdramatis seperti di film-film Hollywood. Kondisi oma yang makin menurun, tapi malah membahayakan mereka berdua sekaligus. Ditambah sang anak semata wayang yang masih terjebak dalam jerat narkoba. Emang luar biasa sih sineas yang satu ini, visualnya sederhana tapi ciamik da

Waiting for Bojangles - Europe on Screen Review

Gambar
Setelah dua tahun pandemi, akhirnya festival film favorit gue Europe on Screen mengadakan offline screening lagi. Tapi berhubung gue udah berdomisili di suburb Tangerang, jadi effort lebih ya buat ke Jakarta. Jadinya jauh lebih selektif milih film. Pilihan jatuh ke Waiting for Bojangle s karena ini adalah personal favourite dari salah satu festival director-nya sendiri. Berhubung gue sangat percaya dengan pilihan mas Nauval, langsung deh niatin ke Jakarta demi nonton ini secara legal dan di layar besar. Ya Allah ya Tuhanku, bangsat banget film ini ampun deh. Setengah film pertama kita dibawa ketawa ngakak, setengah terakhir dikasih kenyataan dan kepahitan hidup, dan ditutup dengan ending yang gong banget sampe dada gue sesek. Mana scoringnya juga kacau banget pedihnya aduh ampun. Waiting for Bojangles itu pengalaman nonton yang luar biasa banget sih. Feelnya kaya nonton Life is Beautiful (1997) dengan nuansa modern, meski roh filmnya bergerak di ranah yang berbeda. Sinopsis sedikit,

Hustle - Netflix Review

Gambar
Gue selalu suka sama tipikal drama from-zero-to-hero kaya gini, apalagi di dalam genre sport. Film-film olahraga itu emang unik karena pasti nyentil yang namanya passion sampai ke ranah obsession. Untungnya Hustle masih bermain di passion dan menekankan di latihan keras untuk mencapai tujuan - well sesuai judulnya. Jadi atlet itu emang beneran bukan cuma fisik, tapi mental juga mesti digeber pol ya. Dari film ini gue belajar bukan cuma mental juara yang mesti diselami, tapi juga nahan emosi. Pemain lawan pasti banget mancing emosi, dan itu udah natural apa adanya. Jadi ya dari kitanya aja mesti sebodo teing. Adam Sandler emang kayaknya lebih cocok main di film drama serius kaya gini deh. Gue sih udah langsung skip ya kalau dia main di film komedi romantis yang wajib ada adegan pantai ala Warkop DKI. Dari Punch-Drunk Love (2002) sampai ke Uncut Gems (2019) udah keliatan sebenernya kalau dia tuh aktor berbakat. Tapi kenapa yak mayoritas filmnya mesti ke komedi receh gitu. Sayangnya gu

Broker - Review

Gambar
Betapa bersyukurnya gue hidup di jaman yang aksesnya sudah mudah untuk nonton film-film yang berjaya di festival film. Kali ini ada Broker , film arahan sutradara dan penulis Hirokazu Koreeda ( Shoplifters , 2018) yang menang dua piala di Cannes; aktor terbaik dan sutradara terbaik. Rasanya memang karya Koreeda ini selalu jadi langganan piala di Cannes, meski harus objeknya keluarga di Asia ya. Ada The Truth (2019) tapi sayangnya miss dan nggak dapat banyak pengakuan dari kritikus atau festival film.  Gue suka banget dengan isu yang diangkat Broker, sangat segar dan kepikiran aja gitu buat nulis tentang ini. Tentang anak yang dibuang oleh orang tuanya, dan ternyata premis ini sangat berkaitan dengan setiap karakter yang ada di layar. Siapa yang sangka ternyata masing-masing karakter punya masa lalu yang sangat berkaitan dengan isu tersebut. Karakter-karakter yang saling bertentangan ini harus akur dalam perjalanan panjang, menjadikan plot band of misfits yang menarik. Dibungkus dalam

Jurassic World Dominion - Review

Gambar
Franchise Jurassic selalu berhasil jadi magnet keluarga dan anak-anak, terlihat dari ramainya mall di akhir pekan 11-12 Juni 2022 kemarin. Film tentang dinosaurus, yang dikuasai oleh franchise Jurassic, memang selalu efektif memancing anak-anak untuk ke bioskop. Ditambah lagi film ketiga dari Jurassic World, atau keenam sejak Jurassic Park (1993), memboyong pula tiga aktor utama trilogi pertamanya; Sam Neill, Laura Dern, dan Jeff Goldblum. Taktik cerdas ini jelas akan menghibur dua generasi sekaligus di dalam studio. Semoga benar Jurassic World Dominion menjadi film penutup bagi franchise ini. Kalau benar, jelas ini adalah penutup yang manis dan rapi. Bukan hanya menyatukan aktor-aktris dua generasi, tapi juga kembali ke asal di mana tidak ada dinosaurus hybrid hasil ciptaan baru. Poin ini yang gue kritisi baik di Jurassic World (2015) dan Jurassic World Fallen Kingdom (2018). Buat apa nyiptain spesies baru yang aneh-aneh, sementara masih banyak banget spesies asli dinosaurus yang b

Satria Dewa Gatotkaca - Review

Gambar
Setelah drama yang terjadi di balik PH Satria Dewa Studio, akhirnya rilis juga film pertama dalam jagat sinema satria dewa; Gatotkaca . Pemain-pemainnya memang nggak sepopuler jagat sinema sebelah, Bumilangit. Tapi sepertinya jagat sinema Satria Dewa memosisikan diri layaknya Marvel yang ringan dan bisa diakses semua umur, sementara Bumilangit layaknya DC yang gelap, kelam, dan lebih dewasa. Dari sensor Semua Umur di Satria Dewa Gatotkaca, hal ini juga konsisten dengan gaya penceritaan film ini yang ringan dan menyenangkan. Banyak adegan yang memancing tawa penonton, dengan jalan cerita yang sederhana dan nggak berbelit. Well ada dua-tiga penjelasan mitologi yang terlalu banyak, tapi pada akhirnya gue pun memilih menyerah pada keadaan dan menikmati jalan cerita. Di segi visual, keliatan banget sutradara Hanung Bramantyo memilih style, yang sayangnya jadi style over substance . Nyaris semua shot dibuat banyak warna-warni neon, tapi ada beberapa adegan yang malah jadi terlalu gelap. Saki

Ngeri Ngeri Sedap - Review

Gambar
Kayaknya gue nggak berlebihan kalau menurut gue Ngeri Ngeri Sedap adalah film Indonesia terbaik di tahun ini, sampai saat ini! Pecah luar biasa maksimal. Mulai dari visual yang sedap sampai ke cerita dan emosi yang ngeri. Apalagi gue belajar banyak tentang kehidupan, kebiasaan, dan adat istiadat orang-orang Batak dari film ini. Mari gue puji visualnya dulu, aduhay pemandangan danau Toba dan sekitarnya yang gue nggak sangka seindah itu. Bukan Sumba, bukan Swiss, tapi ini danau Toba! Yang langsung bikin gue ngecek berapa harga tiket pesawat pp ke Silangit. Itu semua dibungkus dengan color grading yang cantikkk sekali. Terang cerah banyak warna namun sekaligus hangat di mata. Udah kaya filter-filter model sunset gitu deh. Mari bahas ceritanya, nah ini dia yang jenius dari sutradara dan penulis naskah Bene Dion Rajagukguk. Sepertinya memang Bene Dion sangat bersinar ketika menulis hal yang sangat relate dengan diri sendiri. Di awal film kita dibawa tertawa terbahak-bahak oleh setiap komed