Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

Everything Everywhere All at Once - Review


Wow wow wow, the real multiverse of madness! Sejak awal tahun, versi bajakan film ini udah beredar luas di internet sih. Tapi setelah gue tonton di bioskop, udah gila apa ya orang-orang berani-beraninya nonton ini di smartphone atau laptop atau tv??? Visualnya luar biasa banget dan jauuuuuh lebih bagus dan meyakinkan ketimbang film-film superhero Marvel dan DC. Apalagi setelah lo tahu kalau tim VFX-nya cuma 5 orang dan ngerjainnya di rumah selama pandemi. Karena fokus utama film ini emang bukan ke keajaiban CGI atau efek visual, tapi lebih ke kisah antara orang tua dengan anak yang sangat relate dengan kita semua.

Pertama-tama harus gue akui, butuh hati dan pikiran yang agak terbuka untuk nonton film ini. Cara berceritanya sangat unorthodox, mulai dari ide ceritanya sendiri sampai ke eksekusi dan visualisasinya. Visual dan eksekusi adegannya penuh dengan imajinasi yang liar, yang bikin gue mikir ini duo Daniel Scheinert dan Daniel Kwan mabok jamur apaaaaaan coba. Kok ya bisa-bisanya kepikiran bikin universe model kaya gitu, ancur bin ajaib!


Cara bertuturnya sih yang gue suka pake banget. Seperti biasa, di awal kita dikasih pengenalan karakter termasuk pelan-pelan pengenalan ke multiverse dan cara mengakses kemampuan dari diri kita di universe lain. Untuk kemudian ditutup dengan formula film-film luar angkasa; bertualang jauh-jauh yang pada akhirnya kunci pendalaman karakter ada di dalam diri sendiri. 

Di titik ini yang bikin gue yakin betapa EEAAO berbumbu stoicism yang dalam dan mengakar. Evelyn yang diperankan secara sempurna oleh Michelle Yeoh, di awal film harus mengakses kemampuan fisik karakter Evelyn di semesta lain. Mulai dari kemampuan bela diri sampai dengan kekuatan super. Tapi kemudian kenapa harus kemampuan fisik aja yang dipelajari? Kan bisa juga ngambil kemampuan emosional, seperti maaf, cinta, dan be kind for others


Kemudian lebih dalam lagi, kalau Evelyn bisa mengakses kemampuan setiap Evelyn di setiap semesta dengan kemungkinan yang nggak terbatas, artinya memang Evelyn punya potensi untuk bisa di setiap hal dong? Mulai dari bisa bela diri, sampai dengan mampu memaafkan orang lain. Kalau Evelyn yang lain bisa, artinya dia sendiri juga bisa. Yang pada akhirnya, sebenarnya Evelyn sendiri bisa melakukan semuanya sendiri. Mulai dari kemampuan fisik sampai psikis. Dengan satu kunci penting yaitu; be kind. 

Dengan hadirnya tokoh antagonis Jobu Tupaki, kita dikasih liat dua macam karakter yang bertolak belakang. Dua-duanya sama-sama bisa melakukan apapun di dunia ini, tapi yang satu mengarah ke destruktif karena menganggap nothing matters ketika dia bisa melakukan segalanya. Tapi yang satu karena punya "be kind" maka bisa mengarahkan dirinya ke ranah yang konstruktif. 


Well, ini yang gue tangkep meski jelas film ini lebih berat kepada kisah antara anak perempuan dengan ibunya - khususnya dalam kultur China yang cenderung keras dan posesif. Ini jelas banget, dan kisah yang dibawa juga setajam Crazy Rich Asians - yang Michelle Yeoh juga sama jadi ibu yang galak dan posesif. Tambahannya, di EEAAO juga ada hubungan antara suami dan istri yang menurut gue jarang diangkat oleh film-film mainstream akhir-akhir ini. Tentang love language yang sangat mudah tenggelam di antara padatnya rutinitas dan kesibukan sehari-hari, untuk kemudian menumpuk konflik sampai luber.

Terima kasih sudah membaca sampai sini, udah keliatan jelas betapa gue sangat suka dengan film ini. Nggak berlebihan kalau gue langsung bilang bahwa Everything Everywhere All at Once adalah film terbaik di tahun 2022 ini. Di atas kesederhanaan dan budget terbatas, bisa memberikan pengalaman sinematik yang luar biasa setingkat blockbuster. Tetapi di balik kesempurnaan visual itu tertanam pula kesederhanaan cerita keluarga yang menghangatkan hati.





















----------------------------------------------------------

review film everything everywhere all at once
review everything everywhere all at once
everything everywhere all at once movie review
everything everywhere all at once film review
resensi film everything everywhere all at once
resensi everything everywhere all at once
ulasan everything everywhere all at once
ulasan film everything everywhere all at once
sinopsis film everything everywhere all at once
sinopsis everything everywhere all at once
cerita everything everywhere all at once
jalan cerita everything everywhere all at once


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Billie Eilish The World's A Little Blurry - Review

Guy Ritchie's The Covenant - Review

Cha Cha Real Smooth - Review