Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Bullet Train - Review
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
-
Senada dengan yang ditawarkan di trailer, Bullet Train adalah film action-comedy dengan kekerasan yang over-the-top yang dibalut dengan visual yang stylish. Jadi buat lo yang suka dan cocok dengan gaya visual yang penuh cahaya lampu neon warna-warni seperti di John Wick atau Atomic Blonde, maka lo akan suka dengan Bullet Train. Apalagi dengan latar belakang Jepang, atau Tokyo-Kyoto, yang memang bawaannya sudah super stylish dan penuh warna-warni.
Jalan ceritanya sendiri terbilang segar dan punya misteri yang berlapis yang dikupas perlahan seiring berjalannya waktu. Gue suka dengan plot twist-nya yang unik dan lumayan bikin gue melongo. Gue juga suka dengan penggambaran latar belakang setiap karakter, yang dieksekusi dengan editing yang menarik. Sebuah penceritaan yang sekali lagi mengingatkan kita bahwa nggak ada orang yang benar-benar jahat, dan tindakan yang mereka lakukan punya motivasi yang logis.
Selain visual, adegan aksi yang keren, dan pilihan soundtrack yang catchy, siap-siap selalu kaget dengan kemunculan setiap cameo. Wah ini gila sih, kaya udah lama ya nggak nonton film dengan kemunculan cameo yang bikin teriak dan tepuk tangan. Kemunculannya memang komikal sih, jadi pasti bikin ketawa dan wow juga.
Gue juga suka dengan tema keberuntungan yang jadi benang merah film ini. Ladybug yang diperankan Brad Pitt digambarkan sebagai seorang agen yang selalu kena sial. Tapi justru karena kesialannya itu pada akhirnya kerjaannya beres juga. Jadi ya tentu saja, beruntung atau sial, tergantung cara pandang dan interpretasi kita sendiri.
Lalu rasanya durasi 126 menit terlalu lama. Kaya ada beberapa momen di mana gue ngerasa kok filmnya nggak habis-habis ya. Selalu ada masalah baru yang muncul untuk kemudian diselesaikan, kemudian muncul lagi masalah baru. Meski kemudian dibayar tuntas lewat klimaks yang membahana. Tapi kalau filmnya dipadatkan jadi 1 jam 45 menit dengan ngejaga tempo secara konsisten, rasanya akan jauh lebih baik lagi secara keseluruhan.
Pertama-tama gue harus ngaku bahwa gue memang fans Billie Eilish sejak pertama kali dia rilis lagu Ocean Eyes tahun 2019. Ya bukan fans garis keras gimana banget, cuma suka sama lagu-lagunya yang melodinya beda dari arus utama. Gue juga nggak tahu secara detil kehidupan pribadinya dia gimana, bahkan gue baru tahu Finneas itu kakaknya sekaligus produser musik dia pas rilis di album pertama. Setelah nonton dokumenter ini, gue jadi makin respek sama artis yang menurut gue sangat beruntung dan terberkati ini. Kita semua tahu lah ya betapa kerasnya dunia hiburan apalagi dengan kasus sebelah mbak Britney Spears yang masih aja dikendalikan sama bapaknya di segala aspek hidupnya. Nah dedek Billie ini luar biasa banget punya keluarga yang beneran 100% suportif di segala sisi. Abangnya Finneas yang jenius di musik tapi juga kagak sirikan sama adeknya yang jauh lebih tenar dari dia. Bapak ibunya yang ternyata memang dari latar belakang musik dan udah grooming Billie dari kecil juga super-bijak d
Dalam setahun kita dikasih 2 film Guy Ritchie? Setelah Operation Fortune: Ruse de Guerre yang rilis di awal tahun, sekarang ada The Covenant . Menariknya The Covenant punya tema yang cenderung segar dan terlalu serius di antara semua film yang pernah disutradarai dan ditulis naskahnya oleh Guy Ritchie. Film ini juga punya premis anti-perang dengan tema yang rasanya belum pernah diangkat. Persahabatan antara seorang serdadu AS dengan penerjemah lokal di Afghanistan. Harus gue akui, rasanya The Covenant layak jadi salah satu film terbaik di tahun ini. Selain punya tema anti-war yang sangat penting, film ini punya penampilan akting yang luar biasa sampai menyerap emosi penonton. Selain itu deretan adegan aksinya juga sangat intens! Beberapa kali gue dibuat tahan nafas dengan ketegangan yang ditampilkan di layar. Seperti film-filmnya Guy Ritchie sebelumnya, The Covenant juga terlihat jelas dibagi menjadi tiga babak. Meski secara durasi tidak terbagi rata, rasanya pilihan yang tepat untu
Wah kayaknya Cha Cha Real Smooth akan jadi salah satu film romansa - dan coming of age - favorit gue di tahun ini. Manis banget sampe gejala diabetes. Satu lagi tipikal film romansa dengan hubungan yang nggak jelas bahkan cenderung platonic. Meski jelas Andrew mungkin punya sindrom Elektra yang condong lebih suka sama wanita yang lebih tua. Tapi gue rasa film ini nggak cuma ngomongin soal cinta. Melainkan tentang hidup! Hidup di masa transisi menuju dewasa lebih tepatnya. Adulting is no joke as we know, dan pasti banyak dari kita yang baru lulus kuliah bingung mau ngapain. Masa transisi dari hidup yang penuh keteraturan dan otoritas dari institusi pendidikan ke hidup yang lebih bebas terhadap arah, visi, dan misi masing-masing. Mulai dari ganti-ganti pekerjaan, gimana cara menghadapi pelanggan dengan sopan, sampai bertanggung jawab dengan komitmen dan waktu. Nah romansa dapat porsi yang jauh lebih banyak ketimbang pekerjaan, karena gue rasa memang sisi ini yang jauh lebih relate denga
Komentar
Posting Komentar