Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Yuni - Review
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
-
Yuni adalah potret sosial kompleks yang apa adanya dan vulgar tentang perempuan pada umumnya, dan perempuan yang hidup di ekonomi menengah ke bawah di rural Indonesia pada khususnya. Dengan dialog 100% menggunakan bahasa Jawa Serang, penonton dibawa untuk menyelami kehidupan Yuni di kota kecilnya. Keseharian Yuni yang sangat sederhana dari obrolan tentang seks di padang rumput sampai dengan ayah yang suportif saat sedang potong kuku di malam hari.
Lengkap dengan komunitas kecil, warga lokal yang penuh gosip, sampai tetek bengek politik yang efeknya sangat terasa bagi mereka. Film ini memang tipikal menceritakan keseharian karakter utamanya yang setiap gerak-geriknya yang tak luput dari sebab-akibat pandangan sosial dan politik yang berlaku pada saat itu. Mulai dari perempuan mau jadi apa kalau tidak menikah sampai dengan wacana tes keperawanan dari pemerintah.
Hal yang gue sangat suka dari film Yuni adalah bagaimana kamera selalu fokus pada Yuni sepanjang film, dan perlahan menyamarkan latar dan ekspresi orang-orang sekitarnya untuk semakin dalam melihat ekspresi dan emosi Yuni. Seakan Son of Saul (2015) yang fokus pada karakter utama sebagai respon terhadap apapun yang terjadi di sekitarnya, sutradara dan penulis naskah Kamila Andini tampak menggunakan pendekatan yang sama bahwa apapun yang terjadi dari skala makro sampai mikro pasti berdampak ke level individu.
Kamera yang fokus pada Yuni ini bagi gue juga sebagai simbol bahwa sudah saatnya menempatkan perempuan bukan sebagai objek, tapi sebagai subjek. Simbol yang kontradiktif terhadap banyak hal yang terjadi pada setiap perempuan di sekitar Yuni. Ada yang putus sekolah karena menikah dan punya anak, untuk kemudian ditinggal suaminya. Ada yang menikah sejak SMP tapi selalu keguguran karena secara biologis belum matang dan kemudian diceraikan. Ada pula yang hamil dan menanggung semua akibatnya sendirian sampai maut.
Kamera yang menempatkan Yuni sebagai subjek ini juga sejalan dengan pengisahan Yuni luar dalam. Karakter utama perempuan tidak hanya pasif menerima keadaan sebagai objek penderita, tapi aktif dalam merasakan, bergumul, bingung, sampai aktif mencari jalan atau pilihan alternatif dari masalah yang dihadapi. Beruntung Yuni adalah karakter yang cenderung resisten dan berani, tercermin dari aktivitas bela diri yang diikuti.
"Penyakit ungu" yang dicap oleh gurunya terhadap Yuni juga dianggap sebagai sesuatu yang harus disembuhkan. Ungu adalah simbol warna yang digunakan oleh International Women's Day, dan digunakan pula oleh para aktivis di Indonesia untuk mendukung Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Ungu sebagai simbol kekuatan perempuan ini yang coba diredam oleh sosial - kali ini lewat ibu guru - agar dapat diterima oleh masyarakat.
Menonton Yuni jelas menjadi pengalaman yang sangat unik. Beragam rasa bisa gue rasakan mulai dari hangatnya hati melihat aktivitas dan interaksi Yuni dengan teman-temannya, sampai ke miris dan pedih melihat bagaimana peran perempuan direduksi hanya sebagai "kasur, sumur, dan dapur". Sebuah hal yang tampak asing bagi kita orang yang sudah terbiasa hidup di kota, tapi mirisnya ini adalah fakta keseharian yang ada di setiap rural di Indonesia - dan bahkan di negara-negara berkembang lainnya.
Sebagai seorang remaja 16 tahun yang sebentar lagi lulus SMA - sama seperti semua remaja di mana pun - Yuni belum tahu mau apa dan ke mana di masa depan nanti. Sayangnya di kelas sosial dan ekonominya, pilihannya sangat terbatas. Melanjutkan studi ke perguruan tinggi butuh biaya mahal, sedangkan jalur beasiswa butuh konsistensi nilai yang cemerlang. Bekerja pun pilihannya sangat terbatas karena lapangan pekerjaan yang cenderung hanya condong pada bidang yang dikuasai laki-laki.
Menjalankan hobi bernyanyi menjadi hal yang tabu karena sekolah mencap bahwa mengeluarkan suara adalah aurat. Pilihan yang tampak jauh lebih mudah adalah menikah dan diberi nafkah. Tapi ketika calon kepala daerah mengumumkan akan mengadakan tes keperawanan di sekolah, ternyata selaput dara jadi token yang dibayar mahal dalam mahar. Menerima satu-dua lamaran yang datang selalu menjadi pilihan yang sangat sulit, ditambah lagi omongan sosial bahwa pamalih menolak lamaran lebih dari dua kali.
Padahal sekolah sendiri sebagai lembaga edukasi tidak memberikan pendidikan seks yang mumpuni. Akibatnya jelas anak-anak sekolah yang penuh rasa ingin tahu ini mencari ke tempat lain; obrolan di padang rumput, diskotik, internet, sampai ke ruang kosong di tempat penginapan yang ditinggalkan.
Sejalan dengan penggambaran dan potret permasalahan yang holistik, Yuni tidak serta-merta memberikan pilihan solusi atau jawaban praktis. Tidak ada kuliah atau ceramah yang menggurui, tapi konsisten mengeksplorasi berbagai sebab-akibat yang bisa saja terjadi - dan nyata terjadi di keseharian rural Indonesia. Pun Yuni tidak menunjuk siapa atau apa yang patut disalahkan dalam isu sosial ini karena individu dan kelompok individu juga bereaksi akibat struktural yang kompleks dan problematik.
review film yuni review yuni yuni movie review yuni film review resensi film yuni resensi yuni ulasan yuni ulasan film yuni sinopsis film yuni sinopsis yuni cerita yuni jalan cerita yuni
Pertama-tama gue harus ngaku bahwa gue memang fans Billie Eilish sejak pertama kali dia rilis lagu Ocean Eyes tahun 2019. Ya bukan fans garis keras gimana banget, cuma suka sama lagu-lagunya yang melodinya beda dari arus utama. Gue juga nggak tahu secara detil kehidupan pribadinya dia gimana, bahkan gue baru tahu Finneas itu kakaknya sekaligus produser musik dia pas rilis di album pertama. Setelah nonton dokumenter ini, gue jadi makin respek sama artis yang menurut gue sangat beruntung dan terberkati ini. Kita semua tahu lah ya betapa kerasnya dunia hiburan apalagi dengan kasus sebelah mbak Britney Spears yang masih aja dikendalikan sama bapaknya di segala aspek hidupnya. Nah dedek Billie ini luar biasa banget punya keluarga yang beneran 100% suportif di segala sisi. Abangnya Finneas yang jenius di musik tapi juga kagak sirikan sama adeknya yang jauh lebih tenar dari dia. Bapak ibunya yang ternyata memang dari latar belakang musik dan udah grooming Billie dari kecil juga super-bijak d
Dalam setahun kita dikasih 2 film Guy Ritchie? Setelah Operation Fortune: Ruse de Guerre yang rilis di awal tahun, sekarang ada The Covenant . Menariknya The Covenant punya tema yang cenderung segar dan terlalu serius di antara semua film yang pernah disutradarai dan ditulis naskahnya oleh Guy Ritchie. Film ini juga punya premis anti-perang dengan tema yang rasanya belum pernah diangkat. Persahabatan antara seorang serdadu AS dengan penerjemah lokal di Afghanistan. Harus gue akui, rasanya The Covenant layak jadi salah satu film terbaik di tahun ini. Selain punya tema anti-war yang sangat penting, film ini punya penampilan akting yang luar biasa sampai menyerap emosi penonton. Selain itu deretan adegan aksinya juga sangat intens! Beberapa kali gue dibuat tahan nafas dengan ketegangan yang ditampilkan di layar. Seperti film-filmnya Guy Ritchie sebelumnya, The Covenant juga terlihat jelas dibagi menjadi tiga babak. Meski secara durasi tidak terbagi rata, rasanya pilihan yang tepat untu
Wah kayaknya Cha Cha Real Smooth akan jadi salah satu film romansa - dan coming of age - favorit gue di tahun ini. Manis banget sampe gejala diabetes. Satu lagi tipikal film romansa dengan hubungan yang nggak jelas bahkan cenderung platonic. Meski jelas Andrew mungkin punya sindrom Elektra yang condong lebih suka sama wanita yang lebih tua. Tapi gue rasa film ini nggak cuma ngomongin soal cinta. Melainkan tentang hidup! Hidup di masa transisi menuju dewasa lebih tepatnya. Adulting is no joke as we know, dan pasti banyak dari kita yang baru lulus kuliah bingung mau ngapain. Masa transisi dari hidup yang penuh keteraturan dan otoritas dari institusi pendidikan ke hidup yang lebih bebas terhadap arah, visi, dan misi masing-masing. Mulai dari ganti-ganti pekerjaan, gimana cara menghadapi pelanggan dengan sopan, sampai bertanggung jawab dengan komitmen dan waktu. Nah romansa dapat porsi yang jauh lebih banyak ketimbang pekerjaan, karena gue rasa memang sisi ini yang jauh lebih relate denga
Komentar
Posting Komentar