Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas - Review



Bajingan! Memang bajingan film ini, bajingan vulgarnya, bajingan juga bagusnya! Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas benar-benar jadi standar baru perfilman Indonesia di segala segi. Sangat well-made dan terasa bahwa film ini dibuat dengan hati. Sebuah kapsul waktu dan pengingat miris tentang kondisi sosio-politik yang memengaruhi rakyat kecil bahwa kekerasan dan maskulinitas adalah token yang berlaku di jalanan.

Pertama-tama, film ini memberikan hiburan mata yang maksimal. Dunia tahun 1989-1990an sangat terpercaya berkat kombinasi brilian dari gambar hasil dari kamera seluloid, desain latar yang detil, kostum retro, sampai bahasa tubuh dan dialog para pemainnya. Nggak sulit untuk menyelami world building yang digambarkan Edwin x Eka Kurniawan dalam film ini, dan jadi pintu masuk yang nyaman untuk turut menyelami setiap karakter dan ceritanya.


Dengan menggandeng penulis bukunya sendiri untuk turut menggarap naskah, rasanya aman bahwa alihwahana dari buku berjudul sama ke film akan sesuai nafas dan nyawanya. Sebagai pembaca bukunya - sekaligus penggemar berat semua buku Eka Kurniawan - gue cukup takjub bisa menonton film yang punya roh yang sama dengan bukunya. 

Mulai dari toxic masculinity, women empowerment, sampai pengaruh makro sosial-politik terhadap hidup keseharian rakyat kecil. Oya sampai ke aktivitas seksual yang vulgar juga, sebuah pemandangan unik di film Indonesia. Nggak heran sampai ada pengingat 18+ di posternya yang sekaligus mengolok LSF bahwa standar klasifikasi rating umur bisa berbeda tergantung film. 


Imajinasi Edwin memang liar, karena ada beberapa bit dari buku yang diimajinasikan ulang oleh Edwin. Tapi tetap dalam semangat dan nyawa yang sama dengan apa yang ingin dibawakan. Secara keseluruhan, pengalaman menonton film ini benar-benar unik dan menarik. Tipikal film yang harus duduk merenung bahkan tidur semalaman dulu baru bisa benar-benar meresapi semua hal yang digambarkan.

Salut banget sama Ladya Cheryl yang berhasil banget menghidupkan karakter Iteung di sini. Kalau Ladya udah turun gunung, udah pasti jaminan mutu lah ya. Film terakhirnya aja tahun 2012 di Postcard from the Zoo karya Edwin juga, jadi memang super selektif sih aktor brilian yang satu ini. Menurut gue dari semua aktor, cuma Ladya yang masuk banget dan sangat natural di dialog dan cara bertutur di era itu - selain Sal Priadi yang juga kayaknya effortless banget ya udah modal tampang jadul pula.


Buat gue pribadi, film ini menjadi pengingat yang penting dan tak lekang waktu bahwa maskulinitas - dan feminitas tak melulu dilihat dari organ tubuh dan kelamin. Ajo Kawir nggak bisa ngaceng dan merasa harus selalu berkelahi dan jago balapan motor demi bisa dianggap laki-laki. Sementara Iteung meski berkulit perempuan tapi jago berkelahi dan siap menghajar siapa saja yang memandangnya rendah.

Sementara itu mereka hidup dibawah rezim otoriter yang menggunakan kekerasan sebagai token kekuasaan. Ternyata ini punya dampak signifikan ke tingkat mikro dan masuk di gang-gang kecil di Bojongsoang. Apalagi bagi salah satu gender yang merasa berkuasa atas lawan jenis jadi makin megalomania dengan kekuatan otot dan penis. Tapi kisah ini merombak dan mempertanyakan ulang itu semua; apakah benar organ tubuh dan organ kelamin menentukan kuasa atas yang lain. 





















----------------------------------------------------------

review film seperti dendam rindu harus dibayar tuntas eka kurniawan
review seperti dendam rindu harus dibayar tuntas eka kurniawan
seperti dendam rindu harus dibayar tuntas eka kurniawan movie review
seperti dendam rindu harus dibayar tuntas eka kurniawan film review
resensi film seperti dendam rindu harus dibayar tuntas eka kurniawan
resensi seperti dendam rindu harus dibayar tuntas eka kurniawan
ulasan seperti dendam rindu harus dibayar tuntas eka kurniawan
ulasan film seperti dendam rindu harus dibayar tuntas eka kurniawan
sinopsis film seperti dendam rindu harus dibayar tuntas eka kurniawan
sinopsis seperti dendam rindu harus dibayar tuntas eka kurniawan
cerita seperti dendam rindu harus dibayar tuntas eka kurniawan
jalan cerita seperti dendam rindu harus dibayar tuntas eka kurniawan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Billie Eilish The World's A Little Blurry - Review

Guy Ritchie's The Covenant - Review

Cha Cha Real Smooth - Review