Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Pengabdi Setan 2: Communion - Review
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
-
Kalau boleh jujur, gue mau suka tapi susah banget. Pengabdi Setan 2: Communion memang "lebih" dari film pertamanya. Lebih horor, lebih banyak jump scares, dan lebih luas universe pengabdi setannya Joko Anwar. Tapi segala kelebihan ini jadi terlalu mewah dan sama sekali nggak "down to earth". Jauh lebih kompleks, tapi jadi meninggalkan kesederhanaannya. Emang ngasih level dan potensi horor baru, tapi jadi meninggalkan esensi dari horor itu sendiri.
Oke gue bahasa satu-satu deh ya, mungkin dari yang pertanyaan yang paling sering ditanya; serem gak? Iya serem! Kalau di film pertamanya serem-sereman di satu rumah aja, di film kedua ini seremnya di rumah susun. Mungkin nanti di film ketiga di rumah cluster kali ya. Ada beberapa trik jump scares yang oke banget, tapi ada beberapa juga yang modifikasi elemen lama. Jadi silakan berantisipasi senyaman mungkin, elemen kagetnya tetep maksimal. Keluhan gue soal horor adalah kenapa ibunya sedikit banget ya padahal prominent di marketing promo.
Tapi ya itu, film ini hanya jadi sekumpulan montage adegan jump scares yang dijahit jadi satu. Oke ada elemen konspirasi pengikut sekte sesat yang sayangnya cuma jadi tempelan belaka di tengah pertama film ini. Lebih banyak adegan jump scares yang for the sake buat nakutin penonton aja, sama sekali nggak berhubungan dengan sekte sesat. Jadi setiap build-up nggak ada pay-off yang berarti untuk membuka misteri sekte. Yang akhirnya kita cuma sedikit banget belajar hal baru, dan lagi-lagi harus nunggu untuk sekuel berikutnya.
Trus kenapa sih 80% film ini mesti mati lampu?? I knooooow mati lampu, hujan, dan rusun aneh adalah kombinasi sempurna untuk atmosfer horor maksimal. Tapi ya nggak 80% juga ya, jadinya capek banget. Efeknya, klimaksnya jadi berasa biasa aja padahal secara teknis dan visualisasi itu super banget. Capek pula karena jump scares-nya gaspol nggak dikasih nafas sama sekali, jadinya seakan repetitif dan claustrophobic - in both good and bad way. Jadi pengalaman menonton yang mixed sih buat gue.
Pengabdi Setan 2: Communion memang naik level, baik naik level dari film pertamanya dan naik level di skena film horor nasional. Cuma Joko Anwar yang bisa masukkin unsur sosial-politik ke dalam film horor. Emang ciri khas beliau yang dipertahankan di setiap filmnya ya. Which is great dan jadi tolok ukur baru di film horor.
Tapi menurut gue levelnya ketinggian jadi nggak relate ke banyak orang. Istilah kata, film pertama di rumah kampung, film kedua di rumah bilangan Pondok Indah. Kalau belajar dari KKN di Desa Penari sebagai film Indonesia paling laris sepanjang masa (oke meski teknis dan produksinya nggak ada di level Pengabdi Setan 2: Communion) tapi kisahnya sangat dekat dengan masyarakat Indonesia kebanyakan. Bahkan kalau harus dibandingkan, gue malah lebih suka Ivanna ketimbang Pengabdi Setan 2: Communion - for the sake of simplicity and horror. Terkadang hal substansial yang lebih kena ya.
Pertama-tama gue harus ngaku bahwa gue memang fans Billie Eilish sejak pertama kali dia rilis lagu Ocean Eyes tahun 2019. Ya bukan fans garis keras gimana banget, cuma suka sama lagu-lagunya yang melodinya beda dari arus utama. Gue juga nggak tahu secara detil kehidupan pribadinya dia gimana, bahkan gue baru tahu Finneas itu kakaknya sekaligus produser musik dia pas rilis di album pertama. Setelah nonton dokumenter ini, gue jadi makin respek sama artis yang menurut gue sangat beruntung dan terberkati ini. Kita semua tahu lah ya betapa kerasnya dunia hiburan apalagi dengan kasus sebelah mbak Britney Spears yang masih aja dikendalikan sama bapaknya di segala aspek hidupnya. Nah dedek Billie ini luar biasa banget punya keluarga yang beneran 100% suportif di segala sisi. Abangnya Finneas yang jenius di musik tapi juga kagak sirikan sama adeknya yang jauh lebih tenar dari dia. Bapak ibunya yang ternyata memang dari latar belakang musik dan udah grooming Billie dari kecil juga super-bijak d
Dalam setahun kita dikasih 2 film Guy Ritchie? Setelah Operation Fortune: Ruse de Guerre yang rilis di awal tahun, sekarang ada The Covenant . Menariknya The Covenant punya tema yang cenderung segar dan terlalu serius di antara semua film yang pernah disutradarai dan ditulis naskahnya oleh Guy Ritchie. Film ini juga punya premis anti-perang dengan tema yang rasanya belum pernah diangkat. Persahabatan antara seorang serdadu AS dengan penerjemah lokal di Afghanistan. Harus gue akui, rasanya The Covenant layak jadi salah satu film terbaik di tahun ini. Selain punya tema anti-war yang sangat penting, film ini punya penampilan akting yang luar biasa sampai menyerap emosi penonton. Selain itu deretan adegan aksinya juga sangat intens! Beberapa kali gue dibuat tahan nafas dengan ketegangan yang ditampilkan di layar. Seperti film-filmnya Guy Ritchie sebelumnya, The Covenant juga terlihat jelas dibagi menjadi tiga babak. Meski secara durasi tidak terbagi rata, rasanya pilihan yang tepat untu
Wah kayaknya Cha Cha Real Smooth akan jadi salah satu film romansa - dan coming of age - favorit gue di tahun ini. Manis banget sampe gejala diabetes. Satu lagi tipikal film romansa dengan hubungan yang nggak jelas bahkan cenderung platonic. Meski jelas Andrew mungkin punya sindrom Elektra yang condong lebih suka sama wanita yang lebih tua. Tapi gue rasa film ini nggak cuma ngomongin soal cinta. Melainkan tentang hidup! Hidup di masa transisi menuju dewasa lebih tepatnya. Adulting is no joke as we know, dan pasti banyak dari kita yang baru lulus kuliah bingung mau ngapain. Masa transisi dari hidup yang penuh keteraturan dan otoritas dari institusi pendidikan ke hidup yang lebih bebas terhadap arah, visi, dan misi masing-masing. Mulai dari ganti-ganti pekerjaan, gimana cara menghadapi pelanggan dengan sopan, sampai bertanggung jawab dengan komitmen dan waktu. Nah romansa dapat porsi yang jauh lebih banyak ketimbang pekerjaan, karena gue rasa memang sisi ini yang jauh lebih relate denga
Komentar
Posting Komentar