Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

Babylon - Review


Sebagai pengikut setia sutradara dan penulis naskah Damien Chazelle, jelas gue nggak akan ketinggalan sama film keempatnya setelah Whiplash (2014), La La Land (2016), dan The First Man (2018) ini. Apalagi kali ini film terbarunya punya durasi yang paling panjang, 3 jam lebih! Rasanya cocok ditonton di studio Premiere ya dengan durasi sepanjang ini.

Babylon memang jadi surat cinta - dan surat benci - dari Damien Chazelle untuk sinema, terutama Hollywood di era tahun 1920an. Ini adalah era transisi dari film bisu ke film suara, dan ini berpengaruh banyak kepada setiap pelaku industri. Babylon menggambarkan pengaruh transisi ini kepada beberapa karakter, mulai dari aktor terkenal, aktris pendatang baru, dan aktor kulit hittam.


Yang menarik adalah karakter Jack Conrad, bintang utama yang terkenal di era film bisu namun mulai memudar ketika harus berakting dengan dialog dan suara. Ternyata karakter yang diperankan oleh Brad Pitt ini dibangun berdasarkan aktor nyata, John Gilbert ynag bersinar di bawah bendera MGM di tahun 1920an. Meski nasibnya tidak setragis yang digambarkan dalam film, John Gilbert meninggal karena serangan jantung di umur 38 tahun.

Kisah-kisah ini dibungkus dalam kemasan yang spektakuler dan indah luar biasa. Ini rasanya sudah bisa dimaklumi ya mengingat 3 film Damien Chazelle sebelumnya selalu konsisten dengan visual yang cantik dan scoring yang edan. Begitu juga dengan Babylon yang luar biasa indahnya, jadi rasanya dosa besar kalau ditonton di layar kecil macam televisi atau ponsel pintar. Scoringnya juga cantik dan ada beberapa melodi yang mirip dengan La La Land. Jelas ini tanggung jawab Justin Hurwitz yang rutin jadi penata musik di setiap filmnya Damien Chazelle.


Babylon jelas sukses menggambarkan era keemasan - dan kehitaman - Hollywood yang terlihat magis dari luar namun penuh borok di dalam. Persis seperti judulnya yang mengambil referensi dari kitab suci tentang kota yang hingar bingar namun dihukum Tuhan. Dunia sinema memang selalu ajaib dalam mempertontonkan apapun kepada penontonnya. Tapi siapa yang tahu apa yang terjadi di belakang layar, sebuah ironi nyata, tentang harga yang harus dibayar untuk menghibur para penonton.








----------------------------------------------------------

review film babylon damien chazelle
review babylon damien chazelle
babylon damien chazelle movie review
babylon damien chazelle film review
resensi film babylon damien chazelle
resensi babylon damien chazelle
ulasan babylon damien chazelle
ulasan film babylon damien chazelle
sinopsis film babylon damien chazelle
sinopsis babylon damien chazelle
cerita babylon damien chazelle
jalan cerita babylon damien chazelle


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Billie Eilish The World's A Little Blurry - Review

Guy Ritchie's The Covenant - Review

Cha Cha Real Smooth - Review