Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Autobiography - Review
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
-
Power play atau permainan kekuasaan itu nyata adanya, mulai dari tingkat negara, kabupaten, bahkan lingkup rumah tangga - atau bahkan pacaran. Kekuasaan diartikan sebagai kontrol asimetris terhadap sumber daya yang bermakna di hubungan sosial. Sumber dayanya bisa berupa status sosial, status ekonomi, jabatan, bahkan ras dan agama. Permainan atau dinamika kekuasaan terjadi ketika ada satu pihak yang menggunakan kekuasaannya terhadap pihak lain yang punya sumber daya yang lebih sedikit. Ini bisa terjadi antara suami dan istri, pak/bu RT dan warganya, calon bupati dan ajudannya, bahkan presiden dan rakyatnya.
Dinamika dan permainan kekuasaan ini yang jadi topik utama dari debut film panjang pertama dari sutradara dan penulis naskah Makbul Mubarak. Sebagai seseorang yang memerhatikan perjalanan karir Makbul Mubarak dari jauh, gue cukup bangga atas pencapaiannya. Dari seorang penulis dan kritikus film, salah satu pendiri situs kritik dan kajian film Cinema Poetica, berbagai film pendek, dan akhirnya film panjang pertamanya yang berhasil memenangkan berbagai penghargaan.
Autobiography dengan cerdas dan gamblang menggambarkan apa yang pernah dan bisa terjadi jika ada orang yang menyalahgunakan kekuasaannya terhadap orang lain. Sebenarnya setiap orang pasti punya sumber daya yang lebih daripada yang lain dan ini adalah lumrah adanya. Tapi menjadi masalah menahun dan jadi lingkaran setan kalau ada orang yang menyalahgunakan hal tersebut.
Film ini juga sukses mengusung jargonnya "seram tanpa setan" karena kehadiran Arswendy Bening Swara memang sangat menakutkan. Satu kata atau bahkan tanpa kata, ekspresi dan tatapan mata tajamnya lebih seram dari setan manapun. Ajaib memang bagaimana kharisma (menakutkan) seseorang dapat dengan mudah dibentuk dari latar belakang dan melihat reaksi orang lain terhadapnya. Gue suka banget adegan mandiin, itu kaya representasi vulgar bagaimana pak Purna memiliki tubuh dan jiwab Rakib. Kevin Ardilova juga sukses menjalani karakter yang tertindas tapi masih punya keinginan kuat untuk bertahan hidup.
Dengan jenius, Makbul juga memilih nama karakternya pak Purnawinata seakan permainan kata dari purnawirawan. Pemilihan latar belakang karakter pak Purna sebagai pensiunan militer juga sangat jitu mengingat bagaimana permainan kekuasaan sangat nyata dalam institusi militer. Baik ketika masih berkuasa maupun ketika sudah pensiun, karena masih mereka bisa memainkan kekuasaan yang pernah dan sedang diraihnya.
Rasanya nggak perlu dijelaskan lagi kalau Autobiography ini bermaksud menyindir Orde Baru dan pemimpinnya. Tapi kenapa harus berhenti pada satu metafora itu saja? Pak Purna sebagai calon bupati bisa jadi representasi karakter penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Pak RT atau pak RW, suami atau istri, pemimpin negara, atau bahkan pemimpin agama. Apalagi kita sering mendengar berita kekerasan atau kekerasan seksual yang semuanya berasal dari penyalahgunaan kekuasaan.
review film autobiography review autobiography autobiography movie review autobiography film review resensi film autobiography resensi autobiography ulasan autobiography ulasan film autobiography sinopsis film autobiography sinopsis autobiography cerita autobiography jalan cerita autobiography
Pertama-tama gue harus ngaku bahwa gue memang fans Billie Eilish sejak pertama kali dia rilis lagu Ocean Eyes tahun 2019. Ya bukan fans garis keras gimana banget, cuma suka sama lagu-lagunya yang melodinya beda dari arus utama. Gue juga nggak tahu secara detil kehidupan pribadinya dia gimana, bahkan gue baru tahu Finneas itu kakaknya sekaligus produser musik dia pas rilis di album pertama. Setelah nonton dokumenter ini, gue jadi makin respek sama artis yang menurut gue sangat beruntung dan terberkati ini. Kita semua tahu lah ya betapa kerasnya dunia hiburan apalagi dengan kasus sebelah mbak Britney Spears yang masih aja dikendalikan sama bapaknya di segala aspek hidupnya. Nah dedek Billie ini luar biasa banget punya keluarga yang beneran 100% suportif di segala sisi. Abangnya Finneas yang jenius di musik tapi juga kagak sirikan sama adeknya yang jauh lebih tenar dari dia. Bapak ibunya yang ternyata memang dari latar belakang musik dan udah grooming Billie dari kecil juga super-bijak d
Dalam setahun kita dikasih 2 film Guy Ritchie? Setelah Operation Fortune: Ruse de Guerre yang rilis di awal tahun, sekarang ada The Covenant . Menariknya The Covenant punya tema yang cenderung segar dan terlalu serius di antara semua film yang pernah disutradarai dan ditulis naskahnya oleh Guy Ritchie. Film ini juga punya premis anti-perang dengan tema yang rasanya belum pernah diangkat. Persahabatan antara seorang serdadu AS dengan penerjemah lokal di Afghanistan. Harus gue akui, rasanya The Covenant layak jadi salah satu film terbaik di tahun ini. Selain punya tema anti-war yang sangat penting, film ini punya penampilan akting yang luar biasa sampai menyerap emosi penonton. Selain itu deretan adegan aksinya juga sangat intens! Beberapa kali gue dibuat tahan nafas dengan ketegangan yang ditampilkan di layar. Seperti film-filmnya Guy Ritchie sebelumnya, The Covenant juga terlihat jelas dibagi menjadi tiga babak. Meski secara durasi tidak terbagi rata, rasanya pilihan yang tepat untu
Wah kayaknya Cha Cha Real Smooth akan jadi salah satu film romansa - dan coming of age - favorit gue di tahun ini. Manis banget sampe gejala diabetes. Satu lagi tipikal film romansa dengan hubungan yang nggak jelas bahkan cenderung platonic. Meski jelas Andrew mungkin punya sindrom Elektra yang condong lebih suka sama wanita yang lebih tua. Tapi gue rasa film ini nggak cuma ngomongin soal cinta. Melainkan tentang hidup! Hidup di masa transisi menuju dewasa lebih tepatnya. Adulting is no joke as we know, dan pasti banyak dari kita yang baru lulus kuliah bingung mau ngapain. Masa transisi dari hidup yang penuh keteraturan dan otoritas dari institusi pendidikan ke hidup yang lebih bebas terhadap arah, visi, dan misi masing-masing. Mulai dari ganti-ganti pekerjaan, gimana cara menghadapi pelanggan dengan sopan, sampai bertanggung jawab dengan komitmen dan waktu. Nah romansa dapat porsi yang jauh lebih banyak ketimbang pekerjaan, karena gue rasa memang sisi ini yang jauh lebih relate denga
Komentar
Posting Komentar