Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

Before, Now & Then (Nana) - Prime Review


Film biografi ini diadaptasi dari bab pertama buku "Jais Darga Namaku" karya Ahda Imran. Bab pertama dari buku biografi pedagang seni internasional Jais Darga ini - yang juga bertindak sebagai produser eksekutif - memang fokus pada mendiang ibunya, Raden Nana Sunani. Beliau hidup di Jawa Barat tahun 1960-an, sebuah periode yang pelik, terutama untuk perempuan, karena banyak orang yang dibunuh lantaran dituduh komunis.

Film panjang keempat dari sutradara dan penulis naskah Kamila Andini ini masih konsisten menggunakan bahasa daerah sepanjang filmnya. Di film Nana, atau Before, Now & Then sebagai judul internasionalnya, semua pemain tidka hanya harus mengucapkan bahasa Sunda dengan fasih tapi juga bahasa Sunda lawas dan spesifik di tahun 60-an. Bahkan ada ahli bahasa khusus sebagai konsultan dan melatih para pemain.


Gue suka banget dengan visual dari film ini. Dengan nuansa warna yang kebiru-biruan, benar-benar efektif membawa emosi penonton untuk mendayu biru. Setiap shot yang ada juga sangat cantik, berkat tangan piawai dari sinematografer Batara Goempar. Scoringnya juga nikmat sekali, nuansa klasik namun ada unsur kearifan lokal. Kalau ada playlist di Spotify, rasanya cocok banget nemenin kerja seharian.

Before, Now & Then adalah tipikal film non-komersil yang rasanya sulit untuk dinikmati oleh banyak kalangan. Entah karena biaya produksi film ini dapat pendanaan 100% dari berbagai sumber, tapi pastinya ini adalah karya idealis dari seorang sineas berbakat. Gaya berceritanya cenderung sunyi dan minim dialog. Banyak adegan sepi yang fokus pada karakter Nana, dan mengajak penonton untuk menyelami setiap pemikiran dan perasaannya.


Kamila Andini juga konsisten membahas isu wanita, lebih tepatnya nasib para wanita yang tertindas baik karena peran gender maupun kondisi sosio-politik yang ada. Dalam Before, Now & Then, ketertindasan itu digambarkan dengan kompleks dan komprehensif. Nana sebagai istri kedua harus menanggung pedih lantaran suaminya yang tidak setia. Penghiburan itu malah didapatkannya dari selingkungan suaminya sendiri. Kisah yang unik karena ternyata tidak selamanya dan semua wanita butuh pria, terkadang hanya butuh sesama wanita untuk berbagai rasa.


















- ditonton di Prime Video -


----------------------------------------------------------

review film before now then nana
review before now then nana
before now then nana movie review
before now then nana film review
resensi film before now then nana
resensi before now then nana
ulasan before now then nana
ulasan film before now then nana
sinopsis film before now then nana
sinopsis before now then nana
cerita before now then nana
jalan cerita before now then nana


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Billie Eilish The World's A Little Blurry - Review

Guy Ritchie's The Covenant - Review

Cha Cha Real Smooth - Review