Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

The Innocents - Review


Gue nonton ini murni baca review singkat di ig story dari eks-boss gue yang udah terpercaya banget lah selera filmnya. Langsung percaya dan ternyata lagi ada di CGV dalam rangka special screening award season. Cuma dapat 1 jam tayang setiap harinya, langsung lah sikat sebelum turun layar. Dari trailernya sih gue ngerasa ada vibe Let the Right One In (2008) ya, sama-sama dari Skandinavian setidaknya.

Wah gue suka banget sih sama The Innocents. Atmosfer filmnya lamban dan sunyi gitu, tapi jadi kaya ngasih kesempatan buat penonton untuk ikut terlibat dalam pemikiran dan perasaan anak-anak ini. Jalan ceritanya sendiri sangat unik ya. Menurut gue ini kaya Chronicle (2012) versi anak-anak; apa jadinya jika anak-anak umur 9-12 tahun menemukan dirinya punya kekuatan super. Premis yang sangat menarik!


Apalagi secara psikologi perkembangan, apa yang ditampilkan dalam film ini benar-benar akurat dan logis! Manusia punya bagian otak bernama amygdala yang berfungsi sebagai kontrol emosi dan moral, sebagai penentu benar dan salah. Nah amygdala ini baru tumbuh berkembang di usia 9-11 tahun dan baru benar-benar matang di umur 17-19 tahun. Coba deh bayangin anak-anak yang belum bisa nentuin moral benar atau salah, masih eksploratif dan eksperimen berbagai hal, lalu menemukan dirinya punya kemampuan telekinesis. Keren iya, destruktif juga bisa banget iya.

Ditambah lagi dengan kecenderungan sadisme anak-anak yang bisa banget keliatan dari bagaimana dia memperlakukan hewan di sekitar dia. Ada yang penyayang, tapi ada juga yang penasaran kalau kucing dilempar dari ketinggian gimana akibatnya. Hal-hal ini yang ngebuat anak-anak jadi condong ke ekstrim yang destruktif. 

Kemudian ngeliat lagi ke judul film,  yang jadi bahan permenungan apakah ini murni salah mereka? Dengan kapasitas otak yang belum bisa menentukan baik dan jahat, memang sudah jadi tugas orang tua untuk mengarahkan mereka. Memang nggak ada orang tua yang sempurna, tapi setidaknya dari film ini terlihat mana yang berperan besar dalam mengarahkan anak-anaknya dan mana yang tidak. Meski menurut gue film ini lumayan rasis secara yang digambarkan jahat adalah orang-orang kulit berwarna hahahha.  


















- sobekan tiket bioskop tanggal 23 Februari 2022 -


----------------------------------------------------------

review film the innocents
review the innocents
the innocents movie review
the innocents film review
resensi film the innocents
resensi the innocents
ulasan the innocents
ulasan film the innocents
sinopsis film the innocents
sinopsis the innocents
cerita the innocents
jalan cerita the innocents


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Billie Eilish The World's A Little Blurry - Review

Guy Ritchie's The Covenant - Review

Cha Cha Real Smooth - Review