Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

Story of Dinda: Second Chance of Happiness - Review




Spin-off dari spin-off ini sebenernya kurang penting dan seakan biar imbang aja ada sisi cewenya juga. Teknisnya sih oke banget meski chemistry antara Aurelie dan Abimana agak kurang ya. Yang gue suka sih inti ceritanya yang bilang bahwa harusnya individu itu bahagia dan secure dulu sebelum ngejalanin hubungan. Tapi tema ini terkesan repetitif dan diulang-ulang, padahal durasinya cuma 1 jam loh. Gue cukup suka sih dengan gaya bercerita film ini, seakan dua orang yang lagi ngobrol dari hati ke hati di pinggir pantai pas matahari terbenam.

Kasus Dinda dan Pram sangat mungkin terjadi meski dua-duanya salah juga sih ya sama-sama main api. Tapi ya mereka cuma butuh teman cerita yang bisa mendengarkan dengan baik, dan mereka saling menemukan itu. Lalu pas keduanya lagi di posisi yang sama-sama bisa saling rangkul. Ditambah bumbu rasa, jadi kompleks deh masalahnya. Dinda juga cukup peka untuk melabeli hubungan mereka berdua sebagai selingkuh, karena memang tepat. 


Yang gue suka adalah gue lumayan relate dengan karakter Pram. Setiap kejadian yang dialami baik Pram maupun Dinda cukup realistis. Two lost souls finds consolation on each others. Dua orang yang sama-sama sedang nggak baik-baik saja, pasti akan sangat mudah menjalin keterikatan emosional. Ada sama rasa senasib sepenanggungan, apalagi masing-masing jadi tempat curhat yang nyaman. Malah semakin memperkuat pondasi untuk tempat bersandar dan berteduh. Tapi apa itu sehat?

Gue rasa pertanyaan itu yang mau ditanyakan lewat film ini, dan gue sangat memaklumi pilihan akhir film yang sangat bijak. Bukan tugas kita kok untuk "memperbaiki" pasangan. Kesehatan mental seorang individu ya jadi tanggung jawab dia sendiri, dan cara untuk berobat ya ke bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater - BUKAN PACAR/PASANGAN. Apalagi kalau lo sendiri lagi nggak sehat mental. Ibarat ban, lo itu lagi bocor. Obatnya ya tambel dulu ke tukang tambal ban yang bener. Bukan malah ngasih angin ke pasangan, yang ada anginnya makin lama makin habis.




















----------------------------------------------------------

review film Story of Dinda Second Chance of Happiness
review Story of Dinda Second Chance of Happiness
Story of Dinda Second Chance of Happiness movie review
Story of Dinda Second Chance of Happiness film review
resensi film Story of Dinda Second Chance of Happiness
resensi Story of Dinda Second Chance of Happiness
ulasan Story of Dinda Second Chance of Happiness
ulasan film Story of Dinda Second Chance of Happiness
sinopsis film Story of Dinda Second Chance of Happiness
sinopsis Story of Dinda Second Chance of Happiness
cerita Story of Dinda Second Chance of Happiness
jalan cerita Story of Dinda Second Chance of Happiness


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Billie Eilish The World's A Little Blurry - Review

Guy Ritchie's The Covenant - Review

Cha Cha Real Smooth - Review