Fast X - Review

Gambar
Sepuluh film, 22 tahun, dan gue makin nggak peduli lagi dengan ceritanya. Gue udah lupa banget sih sama 9 film sebelumnya. Tapi yang jelas gue ingat beberapa ciri khas franchise Fast & Furious ini. Yang pertama adalah penjahat bisa jadi ada di sisi protagonis di film selanjutnya, dan yang mati bisa dihidupkan kembali. Fast X jelas nggak lepas dari dua ciri khas itu. Tapi yang menarik adalah Fast X hadir di tengah film-film superhero blockbuster dan mampu menyatukan fans MCU dan DCU. Deretan cast di film-filmnya Fast & Furious itu selalu bikin franchise The Expendables - yang idenya menyatukan semua bintang film aksi - malah jadi cupu. Apalagi cast di Fast X ini yang bisa bikin fans MCU dan DCU kelojotan bareng. Gila sih nggak ada duanya emang, dan ini memang salah satu jualannya. Jualan yang lain jelas adegan-adegan aksi stunt CGI yang nggak pakai otak alias absurd. Tapi ya nggak apa-apa juga karena toh penonton suka juga. Harus gue akui, di segi cerita Fast X tergolong sudah

The East - Review


Gue nonton setengah film ini tanpa sadar yang mana Westerling yang terkenal akan kesadisannya membunuh 40,000 rakyat Indonesia di Sulawesi. Ya selama ini kita cuma tahu Westerling aja di buku-buku sejarah, tanpa tahu nama depannya. Padahal sepanjang setengah awal film gue mulai berasa gimana gitu sama karakter yang ini; dengan idealismenya dia yang anti autoritas dan fokus pada perdamaian di tengah penduduk asli.

Siapa yang sangka idealisme perdamaian itu ternyata bisa jadi akar dari pembantaian banyak orang yang disangka teroris. Memang idealisme seperti ini sangat berbahaya jika jadi justifikasi untuk membunuh banyak orang, seperti yang sudah ditunjukkan oleh karakter fiksi Ozymandias. Iya, orang tersebut adalah Raymond Westerling yang memiliki darah Turki.


Film The East sendiri bukan tipikal film perang kebanyakan, apalagi perang kemerdekaan Indonesia seperti trilogi Merah Putih. Gue merasanya The East ini lebih seperti Jarhead, nyaris tidak ada tembakan hanya ada sekelompok prajurit yang melakukan patroli jalan kaki yang jauh di tengah alam Indonesia yang cantik. 

Alasan Belanda dalam Agresi Militer II yang berupa menjaga perdamaian dari konflik horizontal patut dipertanyakan karena nyaris konflik yang ada ternyata sangat minim. Ya Belanda nggak sendirian ya jadi negara maju yang menginvasi negara lain demi "menjaga perdamaian". Wah kalau ngomongin ini bisa nggak habis-habis, mari fokus ke filmnya saja.


Buat gue masih cukup takjub melihat dua orang bule di layar bisa fasih berbahasa Indonesia meski dengan aksen Belandanya. Tapi seperti kata Brad Pitt di Fury (2014), language is a tool of the war maka penting banget untuk bisa bahasa lokal ketika sedang menginvasi satu negara. Lalu saking banyaknya cameo aktor/aktris Indonesia seperti Lukman Sardi, Ence Bagus, dan Putri Ayudya, gue jadi tebak-tebakan siapa cameo selanjutnya ketika ada warga lokal yang masuk di layar.

Untuk keseluruhan, The East benar-benar jadi satu-satunya film yang dengan jujur mengangkat kekejaman Raymond Westerling di Indonesia. Meski film ini sempat dituntut oleh sekelompok orang di Belanda karena menggambarkan terlalu kejam, tapi sutradara dan penulis naskah Jim Taihuttu (yang berdarah Maluku) mengungkapkan bahwa yang digambarkan di film sangat dekat dengan realita menurut hasil risetnya dengan para veteran tentara Belanda.





















----------------------------------------------------------

review film the east
review the east
the east movie review
the east film review
resensi film the east
resensi the east
ulasan the east
ulasan film the east
sinopsis film the east
sinopsis the east
cerita the east
jalan cerita the east


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Billie Eilish The World's A Little Blurry - Review

Guy Ritchie's The Covenant - Review

Cha Cha Real Smooth - Review